Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak
Selain dalam masalah akidah, shufiyah juga menyelisihi Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan para ulama madzhab Syafi’i dalam perkara-perkara lainnya.
Masalah tidak sampainya kiriman bacaan Al-Qur’an
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berpendapat tidak sampainya kiriman pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang telah mati. Sedangkan shufiyah justru paling getol melakukannya.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Umm: “Akan sampai kepada mayit amalan orang lain dan amalan tiga perkara: haji yang dilakukan orang lain mewakili dirinya, shadaqah atas namanya atau yang mengqadha amalannya, dan doa. Adapun yang selain itu berupa shalat dan puasa adalah bagi pelakunya, tidak untuk si mayit.”
Demikian juga Ibnu Katsir rahimahullahu –beliau termasuk ulama bermadzhab Syafi’i– ketika menafsirkan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Masalah tidak sampainya kiriman bacaan Al-Qur’an
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berpendapat tidak sampainya kiriman pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang telah mati. Sedangkan shufiyah justru paling getol melakukannya.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Umm: “Akan sampai kepada mayit amalan orang lain dan amalan tiga perkara: haji yang dilakukan orang lain mewakili dirinya, shadaqah atas namanya atau yang mengqadha amalannya, dan doa. Adapun yang selain itu berupa shalat dan puasa adalah bagi pelakunya, tidak untuk si mayit.”
Demikian juga Ibnu Katsir rahimahullahu –beliau termasuk ulama bermadzhab Syafi’i– ketika menafsirkan ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)
Beliau berkata: “Dari ayat ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan orang yang mengikutinya mengambil istinbath (kesimpulan hukum dari sutau dalil) bahwa hadiah pahala bacaan Al-Qur’an tidaklah sampai kepada orang mati, karena hal itu bukan amal perbuatan mereka. Sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak pernah menganjurkannya….” (Tafsir Ibnu Katsir) [Lihat Mukhalafah hal. 169]
Masalah taklid
Taklid adalah perbuatan tercela, perbuatan kaum musyrikin. Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ menunjukkan rusaknya taklid.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ Mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
Ibnu Abdil Bar rahimahullahu berkata: “Tidak ada perselisihan di antara para imam di seluruh negeri tentang rusaknya taklid.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu sangat mencerca taklid, sedangkan shufiyah mendidik murid-murid mereka untuk taklid. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Kaum muslimin ijma’, barangsiapa yang telah jelas baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya karena ucapan seseorang.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata juga: “Semua yang aku ucapkan namun menyelisihi ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku.”
Adapun shufiyah, mengajari umat untuk taklid kepada guru mereka. Alangkah jauhnya dari ajaran beliau. Kenyataan menunjukkan mereka terjatuh dalam bid’ah ini.
Al-Ghazali memisalkan seorang murid dengan gurunya seperti seorang buta yang dituntun di pinggir sungai. Sang murid harus menyerahkan segala urusannya kepada sang guru. Al-Ghazali juga berkata: “Manfaat dari kesalahan guru lebih banyak daripada kebenaran seorang murid.”
Al-Kurdi Ash-Shufi berkata: “Di antara adab, yakni adab bersama guru, adalah tidak menyanggah apa yang dilakukan gurunya walau zhahirnya adalah haram. Tidak boleh murid berkata: ‘Mengapa sang guru melakukan itu?’ Karena barangsiapa yang berkata kepada gurunya: ‘Mengapa?’, dia tidak akan sukses (bahagia).”
Demikianlah pendidikan dan tarbiyah shufiyah, tidak saling mengingkari kemungkaran yang mereka lakukan. (Mukhalafah hal. 129-135)
Pengagungan As-Sunnah
Mengagungkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban setiap mukmin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah seseorang yang berpegang teguh dengan As-Sunnah. Beliau rahimahullahu pernah berkata: “Semua hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, maka aku berpendapat dengannya walaupun hadits tersebut belum sampai kepadaku.”
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pernah ditanya tentang satu masalah. Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata begini dan begini.” Si penanya berkata: “Apakah engkau berpendapat dengannya?” Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu gemetar dan memerah wajahnya lalu berkata: “Wahai, bumi mana yang akan menyanggaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku malah tidak berpendapat dengannya??!”
Adapun shufiyah, betapa banyak mereka menolak hadits karena perasaan dan hawa nafsu belaka.
Di antara hadits yang ditolak shufiyah adalah:
1. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang berkata: “Wahai Rasulullah, di mana ayahku?” Beliau menjawab: “Di neraka.” Ketika orang tadi berpaling, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.” (HR. Muslim no. 203)
2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berziarah ke makam ibunya dan beliau menangis hingga membuat menangis (orang-orang) yang di sekitarnya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku minta izin kepada Rabbku untuk berziarah ke kuburan ibuku. Dia mengizinkanku. Dan aku memintakan ampun baginya, tapi aku tidak diberi-Nya izin.” (HR. Muslim)
3. Hadits tentang kisah meninggalnya Abu Thalib. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Mereka menolak hadits-hadits ini tanpa hujjah. Padahal para imam madzhab Syafi’i seperti Al-Imam An-Nawawi, Al-Imam Al-Baihaqi, dan Ibnu Katsir rahimahumullah telah menjelaskan dengan gamblang dari hadits ini bahwa dua orangtua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal tidak di atas Islam. (Lihat Mukhalafatush Shufiyah hal. 104-116)
Masalah ilmu kalam (filsafat)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu memiliki sikap yang keras terhadap ahlul kalam. Beliau pernah berkata: “Hukumku atas ahlul kalam adalah dia dipukul dengan pelepah kurma dan sandal, kemudian diletakkan di atas unta, lalu diarak keliling kabilah. Diserukan kepada mereka: ‘Ini adalah balasan bagi orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah lalu mempelajari ilmu kalam’.”
Kita telah mengetahui bahwa shufiyah sangat erat dan terpengaruh oleh firqah Asy’ariyah, padahal mereka termasuk kelompok ahlul kalam.
Demikianlah beberapa masalah yang bisa kami paparkan dalam kesempatan ini. Mudah-mudahan dengan tulisan ini bisa memberikan sedikit wawasan ilmu bagi yang membacanya, sehingga bisa meyakini bahwa paham Shufiyah banyak sekali penyimpangannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bahwasanya kaum shufiyah sejatinya bukanlah pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar