Penulis : Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
Dari Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصلُّوْا عَلَيَّ
فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, jangan pula kalian menjadikan kuburku sebagai ied, dan bershalawatlah kalian untukku. Karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada.”
Takhrij hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu di dalam As-Sunan melalui jalan Ahmad bin Shalih dari Abdullah bin Nafi’ dari Ibnu Abi Dzi’b dari Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu.
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata, “Dan sanad hadits ini hasan, seluruh perawinya tsiqah masyhur. Hanya saja Abdullah bin Nafi’ Ash-Shaigh Al-Faqih Al-Madani Shahib Malik, pada beliau ada liin (semacam sisi kelemahan) yang tidak membuat cacat haditsnya. Yahya bin Ma’in mengatakan: ‘Dia orang yang tsiqah (terpercaya)’, dan cukup bagimu Yahya bin Ma’in sebagai orang yang menyatakannya tsiqah. Abu Zur’ah mengatakan: ‘La ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya)’.”
Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Dia bukan seorang yang hafizh. Dia layyin, haditsnya dikenal dan diingkari.”
Sesungguhnya pernyataan-pernyataan dari ulama di atas menurunkan derajat haditsnya dari shahih menjadi hasan karena tidak ada khilaf tentang ‘adalah dan fiqihnya. Secara umum dia dhabth (hafal) namun kadang-kadang salah. Kemudian hadits ini pun termasuk yang dikenal dari riwayatnya dan tidak diingkari karena yang dia riwayatkan adalah haditsnya orang-orang Madinah dan dia pun membutuhkannya untuk fiqih. Dan hadits semacam ini tentunya dihafal oleh seorang ahli fiqih. Lagipula, hadits ini pun masih ada penguatnya dari jalan lain.” (Iqtidha’ Ash-Shiraat, 355-356)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Dan sanad hadits ini hasan, seluruh perawinya tsiqah masyhur.” (Ighatsatul Lahafan hal. 180)
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (2/218).
Makna hadits
Takhrij hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu di dalam As-Sunan melalui jalan Ahmad bin Shalih dari Abdullah bin Nafi’ dari Ibnu Abi Dzi’b dari Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu.
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata, “Dan sanad hadits ini hasan, seluruh perawinya tsiqah masyhur. Hanya saja Abdullah bin Nafi’ Ash-Shaigh Al-Faqih Al-Madani Shahib Malik, pada beliau ada liin (semacam sisi kelemahan) yang tidak membuat cacat haditsnya. Yahya bin Ma’in mengatakan: ‘Dia orang yang tsiqah (terpercaya)’, dan cukup bagimu Yahya bin Ma’in sebagai orang yang menyatakannya tsiqah. Abu Zur’ah mengatakan: ‘La ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya)’.”
Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Dia bukan seorang yang hafizh. Dia layyin, haditsnya dikenal dan diingkari.”
Sesungguhnya pernyataan-pernyataan dari ulama di atas menurunkan derajat haditsnya dari shahih menjadi hasan karena tidak ada khilaf tentang ‘adalah dan fiqihnya. Secara umum dia dhabth (hafal) namun kadang-kadang salah. Kemudian hadits ini pun termasuk yang dikenal dari riwayatnya dan tidak diingkari karena yang dia riwayatkan adalah haditsnya orang-orang Madinah dan dia pun membutuhkannya untuk fiqih. Dan hadits semacam ini tentunya dihafal oleh seorang ahli fiqih. Lagipula, hadits ini pun masih ada penguatnya dari jalan lain.” (Iqtidha’ Ash-Shiraat, 355-356)
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Dan sanad hadits ini hasan, seluruh perawinya tsiqah masyhur.” (Ighatsatul Lahafan hal. 180)
Hadits ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (2/218).
Makna hadits
لاَ تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan...”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Maknanya janganlah kalian mengosongkan rumah dari shalat dan berdoa serta bacaan Al-Qur’an agar tidak sama dengan kuburan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini memerintahkan untuk menjaga ibadah di rumah-rumah serta melarang untuk menjaga ibadah di kuburan. Hal ini berbeda dengan perbuatan yang dilakukan kaum musyrikin dari kalangan Nasrani serta orang-orang yang menyerupai mereka dari kalangan umat ini.” (Iqtidha’ Ash-Shirath, 357)
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan bahwa larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini menunjukkan dua kemungkinan. Yang pertama, adalah larangan menjadikan rumah sebagai kuburan sehingga tidak diperkenankan seseorang dikuburkan di dalam rumahnya. Adapun makna yang kedua, adalah larangan menjadikan rumah seperti kuburan sehingga rumah dikosongkan dari shalat ataupun bacaan Al-Qur’an. Dan menurut beliau kedua makna ini benar seluruhnya.
Barangkali ada pertanyaan yang melintas di benak kita, mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru dikuburkan di dalam rumah beliau? Ada dua alasan, yang pertama karena ada kekhawatiran kubur beliau akan dijadikan masjid (tempat ibadah) dan diagung-agungkan sebagaimana riwayat Muslim dari Aisyah rahiyallahu ‘anha. Alasan kedua karena adanya beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan di tempat meninggalnya. (Al-Qaulul Mufid, hal. 459-460)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Maknanya janganlah kalian mengosongkan rumah dari shalat dan berdoa serta bacaan Al-Qur’an agar tidak sama dengan kuburan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini memerintahkan untuk menjaga ibadah di rumah-rumah serta melarang untuk menjaga ibadah di kuburan. Hal ini berbeda dengan perbuatan yang dilakukan kaum musyrikin dari kalangan Nasrani serta orang-orang yang menyerupai mereka dari kalangan umat ini.” (Iqtidha’ Ash-Shirath, 357)
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan bahwa larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini menunjukkan dua kemungkinan. Yang pertama, adalah larangan menjadikan rumah sebagai kuburan sehingga tidak diperkenankan seseorang dikuburkan di dalam rumahnya. Adapun makna yang kedua, adalah larangan menjadikan rumah seperti kuburan sehingga rumah dikosongkan dari shalat ataupun bacaan Al-Qur’an. Dan menurut beliau kedua makna ini benar seluruhnya.
Barangkali ada pertanyaan yang melintas di benak kita, mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru dikuburkan di dalam rumah beliau? Ada dua alasan, yang pertama karena ada kekhawatiran kubur beliau akan dijadikan masjid (tempat ibadah) dan diagung-agungkan sebagaimana riwayat Muslim dari Aisyah rahiyallahu ‘anha. Alasan kedua karena adanya beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimakamkan di tempat meninggalnya. (Al-Qaulul Mufid, hal. 459-460)
وَلاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا
“...Jangan pula kalian menjadikan kuburku sebagai ied...”
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan bahwa ada dua kemungkinan makna “ied” di dalam hadits ini. Yang pertama, adalah amalan atau aktivitas yang dilakukan secara rutin setiap tahun. Yang kedua adalah sering pulang pergi ke tempat tersebut dan melakukan amalan. Kemudian beliau berkata, ”Zhahir hadits menunjukkan makna yang kedua. Maka makna hadits di atas adalah janganlah kalian pulang pergi ke kuburku dan janganlah menjadikan hal tersebut sebagai kebiasaan kalian. Sama saja apakah hal itu dilakukan setiap tahun, tiap bulan, atau tiap pekan, karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya.”
Kemudian beliau melanjutkan, “Adapun yang dilakukan sebagian orang di Madinah setiap kali selesai shalat fajar mereka pergi ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan salam dan hal ini menjadi kebiasaannya setiap selesai melaksanakan shalat fajar karena menyangka hal ini sama dengan mengunjungi beliau ketika masih hidup maka perbuatan ini adalah bentuk kebodohan darinya. Apakah mereka tidak mengerti bahwa di manapun mereka mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan sampai juga kepada beliau?” (Al-Qaulul Mufid hal. 461-462)
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan bahwa ada dua kemungkinan makna “ied” di dalam hadits ini. Yang pertama, adalah amalan atau aktivitas yang dilakukan secara rutin setiap tahun. Yang kedua adalah sering pulang pergi ke tempat tersebut dan melakukan amalan. Kemudian beliau berkata, ”Zhahir hadits menunjukkan makna yang kedua. Maka makna hadits di atas adalah janganlah kalian pulang pergi ke kuburku dan janganlah menjadikan hal tersebut sebagai kebiasaan kalian. Sama saja apakah hal itu dilakukan setiap tahun, tiap bulan, atau tiap pekan, karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya.”
Kemudian beliau melanjutkan, “Adapun yang dilakukan sebagian orang di Madinah setiap kali selesai shalat fajar mereka pergi ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan salam dan hal ini menjadi kebiasaannya setiap selesai melaksanakan shalat fajar karena menyangka hal ini sama dengan mengunjungi beliau ketika masih hidup maka perbuatan ini adalah bentuk kebodohan darinya. Apakah mereka tidak mengerti bahwa di manapun mereka mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan sampai juga kepada beliau?” (Al-Qaulul Mufid hal. 461-462)
وَصَلُّوْا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Dan bershalawatlah kalian untukku. Karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada.”
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata, ”Dengan hadits ini beliau hendak menyampaikan bahwa shalawat dan salam dari kalian untukku akan sampai kepadaku, kalian dekat ataupun jauh dari kuburku. Sehingga tidak perlu untuk menjadikan kuburku sebagai ied.” (Iqtidha’ Ash-Shirath, hal. 357)
Ketika menjelaskan hadits ini, Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullahu mengajukan sebuah pertanyaan dan beliau sendiri yang menjawabnya. Bagaimanakah cara sampainya shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawabannya, kami menyatakan bahwa apabila datang nash semacam ini -dan hal ini termasuk perkara ghaib- maka diwajibkan untuk meyakini tentang al-kaif majhul (caranya tidak diketahui). Kita tidak mengetahui dengan cara seperti apakah shalawat itu sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja terdapat sebuah riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki para malaikat yang berjalan di atas muka bumi untuk menyampaikan ucapan salam dari umat ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika riwayat ini shahih, maka inilah kaifiyahnya. (Al-Qaulul Mufid, hal. 463)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan hadits ini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menugaskan para malaikat untuk menyampaikan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kuburnya. Maka di manapun engkau bershalawat untuknya niscaya shalawat itu akan sampai kepadanya, meskipun engkau di timur atau di barat. Hal ini termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu shalawat sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal beliau berada di dalam kuburnya. Perkara ini termasuk peristiwa alam barzakh, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Beliau juga menjelaskan bahwa hadits ini sekaligus merupakan dalil bahwa tidak ada keistimewaan secara tersendiri untuk bershalawat di samping kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (I’anatul Mustafid Syarah Kitab At-Tauhid)
Hal ini diperkuat dengan sikap seorang tabi’in yang berasal dari keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Diriwayatkan dari Ali bin Husain, bahwasanya beliau pernah melihat seseorang datang ke sebuah tempat kosong dekat kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu orang tersebut masuk dan berdoa. Maka Ali berkata, “Maukah engkau aku beritahu tentang sebuah hadits yang pernah aku dengar dari ayahku dari kakekku, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau bersabda, ‘Janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai ied, jangan pula kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan bershalawatlah kalian untukku, karena sesungguhnya shalawat dan salam kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/375), Abu Ya’la (269), Al-Bukhari dalam Tarikh (2/186), dan Adh-Dhiya’ dalam Mukhtarah (428) dengan sanad yang hasan lighairihi.
Setelah membawakan dua riwayat lain yang memperkuat, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Kedua riwayat mursal ini berasal dari dua jalur yang berbeda menunjukkan kebenaran hadits ini. Lebih-lebih lagi, perawi yang meriwayatkan secara mursal ini pun berhujjah dengan riwayatnya. Hal ini menunjukkan kebenaran hadits ini baginya.” (Ighatsatul Lahafan hal. 181)
Syaikul Islam rahimahullahu berkata, ”Maka perhatikanlah sunnah ini, bagaimanakah sunnah ini ditunjukkan dari penduduk kota Madinah dan dari salah seorang Ahlul Bait, yaitu orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara nasab dan tempat tinggal. Disebabkan mereka lebih membutuhkan hal ini daripada orang lain, tentu mereka lebih kuat dalam hal ini.” (Iqtidha Ash-Shiraat 359)
Beberapa hal yang mesti diluruskan
Pembaca…
Sebuah buku telah ditulis oleh Tim Bahtsul Masail PCNU Jember dengan judul Membongkar Kebohongan buku Mantan Kiai NU menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk membenarkan amalan syirik sebagian warga nahdhiyyin seperti bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat, shalawat-shalawat syirik dan bid’ah, serta beberapa hal yang lain. Patut disayangkan sekali para penulis menyatakan bahwa dengan buku tersebut mereka telah membela Ahlus Sunnah wal Jamaah. Entah Ahlus Sunnah Wal Jamaah manakah yang mereka maksud? Yang jelas Ahlus Sunnah yang dimaksud mereka bukanlah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesalahan demi kesalahan dilakukan Tim Bahtsul Masail dalam buku tersebut. Berdalil dengan ayat atau hadits yang shahih namun tidak tepat peletakannya atau salah di dalam memahaminya banyak didapatkan dalam buku itu. Sekian banyak riwayat lemah bahkan palsu pun mereka pakai untuk membenarkan keyakinan mereka. Salah satu contohnya adalah menyebutkan kitab Ahkam Tamanni Al-Maut sebagai buah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Tim Bahtsul Masail banyak menukilkan riwayat-riwayat lemah bahkan palsu serta menyandarkannya kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam kitab Ahkam Tamanni Al-Maut.
Pembaca… Sebenarnya kitab ini bukanlah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Akan tetapi, kejadian yang sesungguhnya adalah Universitas Al-Imam mendapatkan transkrip kitab ini dari Leiden (Belanda). Lalu disimpan di Al-Maktabah As-Su’udiyyah Riyadh. Kitab ini diambil dari Leiden bukan karena kitab ini sebagai karya beliau tetapi karena menggunakan tulisan tangan beliau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dahulu sering mengadakan rihlah (perjalanan), jika beliau menemukan sebuah kitab yang jarang diperjualbelikan maka beliau menyalinnya. Termasuk kitab Ahkam Tamanni Al-Maut, beliau menyalin dengan tulisan tangan beliau sendiri dengan maksud akan memeriksa dan menelitinya. Maklum adanya bahwa para ulama ahlu hadits mereka menulis segala hal bahkan riwayat-riwayat palsu pun ditulis sehingga mereka dapat menjelaskan dengan lengkap tentang hukum dan makna sebenarnya.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah telah membantah keberadaan kitab ini sebagai karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan menguraikan delapan argumen. Kitab ini berjudul Ibthaal Nisbati Kitaab Ahkaami Tamanni Al-Maut Ilaa Asy Syaikh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan pentahqiqnya sendiri, Abdullah Al-Jibrin dan Abdurrahman As-Sadhan, pun mengeluarkan surat pernyataan rujuk dan mengakuinya sebagai kesalahan.
Alam barzakh berbeda dengan alam dunia
Saudara pembaca…
Keyakinan orang-orang Shufi bahwa orang yang telah meninggal masih hidup, dapat mendengarkan doa, dan mampu menolong orang yang masih hidup adalah keyakinan yang salah. Hal ini terjadi karena mereka tidak memahami perbedaan antara alam dunia dan alam barzakh. Mereka ingin menyamakan antara kehidupan dunia dengan kehidupan barzakh padahal kehidupan dunia berbeda dengan kehdupan barzakh.
Seluruh dalil tentang adanya kehidupan setelah mati menunjukkan kehidupan barzakh dan bukan kehidupan dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata, ”Dengan hadits ini beliau hendak menyampaikan bahwa shalawat dan salam dari kalian untukku akan sampai kepadaku, kalian dekat ataupun jauh dari kuburku. Sehingga tidak perlu untuk menjadikan kuburku sebagai ied.” (Iqtidha’ Ash-Shirath, hal. 357)
Ketika menjelaskan hadits ini, Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullahu mengajukan sebuah pertanyaan dan beliau sendiri yang menjawabnya. Bagaimanakah cara sampainya shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Jawabannya, kami menyatakan bahwa apabila datang nash semacam ini -dan hal ini termasuk perkara ghaib- maka diwajibkan untuk meyakini tentang al-kaif majhul (caranya tidak diketahui). Kita tidak mengetahui dengan cara seperti apakah shalawat itu sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja terdapat sebuah riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki para malaikat yang berjalan di atas muka bumi untuk menyampaikan ucapan salam dari umat ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika riwayat ini shahih, maka inilah kaifiyahnya. (Al-Qaulul Mufid, hal. 463)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan hadits ini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menugaskan para malaikat untuk menyampaikan shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kuburnya. Maka di manapun engkau bershalawat untuknya niscaya shalawat itu akan sampai kepadanya, meskipun engkau di timur atau di barat. Hal ini termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu shalawat sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal beliau berada di dalam kuburnya. Perkara ini termasuk peristiwa alam barzakh, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Beliau juga menjelaskan bahwa hadits ini sekaligus merupakan dalil bahwa tidak ada keistimewaan secara tersendiri untuk bershalawat di samping kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (I’anatul Mustafid Syarah Kitab At-Tauhid)
Hal ini diperkuat dengan sikap seorang tabi’in yang berasal dari keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Diriwayatkan dari Ali bin Husain, bahwasanya beliau pernah melihat seseorang datang ke sebuah tempat kosong dekat kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu orang tersebut masuk dan berdoa. Maka Ali berkata, “Maukah engkau aku beritahu tentang sebuah hadits yang pernah aku dengar dari ayahku dari kakekku, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Beliau bersabda, ‘Janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai ied, jangan pula kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan bershalawatlah kalian untukku, karena sesungguhnya shalawat dan salam kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada’.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah (2/375), Abu Ya’la (269), Al-Bukhari dalam Tarikh (2/186), dan Adh-Dhiya’ dalam Mukhtarah (428) dengan sanad yang hasan lighairihi.
Setelah membawakan dua riwayat lain yang memperkuat, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Kedua riwayat mursal ini berasal dari dua jalur yang berbeda menunjukkan kebenaran hadits ini. Lebih-lebih lagi, perawi yang meriwayatkan secara mursal ini pun berhujjah dengan riwayatnya. Hal ini menunjukkan kebenaran hadits ini baginya.” (Ighatsatul Lahafan hal. 181)
Syaikul Islam rahimahullahu berkata, ”Maka perhatikanlah sunnah ini, bagaimanakah sunnah ini ditunjukkan dari penduduk kota Madinah dan dari salah seorang Ahlul Bait, yaitu orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara nasab dan tempat tinggal. Disebabkan mereka lebih membutuhkan hal ini daripada orang lain, tentu mereka lebih kuat dalam hal ini.” (Iqtidha Ash-Shiraat 359)
Beberapa hal yang mesti diluruskan
Pembaca…
Sebuah buku telah ditulis oleh Tim Bahtsul Masail PCNU Jember dengan judul Membongkar Kebohongan buku Mantan Kiai NU menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik. Tujuan penulisan buku ini adalah untuk membenarkan amalan syirik sebagian warga nahdhiyyin seperti bertawassul dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat, shalawat-shalawat syirik dan bid’ah, serta beberapa hal yang lain. Patut disayangkan sekali para penulis menyatakan bahwa dengan buku tersebut mereka telah membela Ahlus Sunnah wal Jamaah. Entah Ahlus Sunnah Wal Jamaah manakah yang mereka maksud? Yang jelas Ahlus Sunnah yang dimaksud mereka bukanlah Ahlus Sunnah yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesalahan demi kesalahan dilakukan Tim Bahtsul Masail dalam buku tersebut. Berdalil dengan ayat atau hadits yang shahih namun tidak tepat peletakannya atau salah di dalam memahaminya banyak didapatkan dalam buku itu. Sekian banyak riwayat lemah bahkan palsu pun mereka pakai untuk membenarkan keyakinan mereka. Salah satu contohnya adalah menyebutkan kitab Ahkam Tamanni Al-Maut sebagai buah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Tim Bahtsul Masail banyak menukilkan riwayat-riwayat lemah bahkan palsu serta menyandarkannya kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam kitab Ahkam Tamanni Al-Maut.
Pembaca… Sebenarnya kitab ini bukanlah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Akan tetapi, kejadian yang sesungguhnya adalah Universitas Al-Imam mendapatkan transkrip kitab ini dari Leiden (Belanda). Lalu disimpan di Al-Maktabah As-Su’udiyyah Riyadh. Kitab ini diambil dari Leiden bukan karena kitab ini sebagai karya beliau tetapi karena menggunakan tulisan tangan beliau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dahulu sering mengadakan rihlah (perjalanan), jika beliau menemukan sebuah kitab yang jarang diperjualbelikan maka beliau menyalinnya. Termasuk kitab Ahkam Tamanni Al-Maut, beliau menyalin dengan tulisan tangan beliau sendiri dengan maksud akan memeriksa dan menelitinya. Maklum adanya bahwa para ulama ahlu hadits mereka menulis segala hal bahkan riwayat-riwayat palsu pun ditulis sehingga mereka dapat menjelaskan dengan lengkap tentang hukum dan makna sebenarnya.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah telah membantah keberadaan kitab ini sebagai karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dengan menguraikan delapan argumen. Kitab ini berjudul Ibthaal Nisbati Kitaab Ahkaami Tamanni Al-Maut Ilaa Asy Syaikh Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan pentahqiqnya sendiri, Abdullah Al-Jibrin dan Abdurrahman As-Sadhan, pun mengeluarkan surat pernyataan rujuk dan mengakuinya sebagai kesalahan.
Alam barzakh berbeda dengan alam dunia
Saudara pembaca…
Keyakinan orang-orang Shufi bahwa orang yang telah meninggal masih hidup, dapat mendengarkan doa, dan mampu menolong orang yang masih hidup adalah keyakinan yang salah. Hal ini terjadi karena mereka tidak memahami perbedaan antara alam dunia dan alam barzakh. Mereka ingin menyamakan antara kehidupan dunia dengan kehidupan barzakh padahal kehidupan dunia berbeda dengan kehdupan barzakh.
Seluruh dalil tentang adanya kehidupan setelah mati menunjukkan kehidupan barzakh dan bukan kehidupan dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rezeki.” (Ali Imran:169)
Al-Imam Asy Syinqithi rahimahullahu menafsirkan bahwa di dalam ayat ini Allah Tabaaraka wa Ta’ala melarang untuk menyangka para syuhada’ telah mati. Dengan jelas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa mereka hidup di sisi Rabb dengan mendapat rezeki. Mereka pun berbahagia disebabkan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka. Bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjelaskan apakah kehidupan mereka di alam barzakh dapat merasakan kehidupan penduduk alam dunia secara nyata ataukah tidak? Hanya saja Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam surat Al-Baqarah bahwa mereka tidak merasakan kehidupan alam dunia di dalam firman-Nya:
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Al-Baqarah: 154)
Beliau menjelaskan di tempat yang lain, “Para syuhada mereka hidup di alam yang berbeda dengan alam kita dan kita tidak dapat merasakan kehidupan mereka karena alam kehidupan mereka bukanlah alam rasa yang dapat dirasakan dengan indera.” (Adhwa’ul Bayan)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata dalam tafsir ayat ini, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa para syuhada hidup dengan mendapatkan rezeki di alam barzakh mereka.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat
Pembahasan di atas ini tidaklah bertentangan dengan ayat ataupun hadits yang menjelaskan tentang wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Az-Zumar:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (Az-Zumar: 30)
Al-Imam Asy-Syinqithi rahimahullahu menjelaskan bahwa para syuhada merasakan mati dalam alam dunia sehingga harta mereka menjadi warisan dan istri mereka pun dapat dinikahi oleh orang lain sesuai ijma’ kaum muslimin. Kematian jenis inilah yang dirasakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana kabar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di dalam kitab Ash-Shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat maka Abu Bakr Ash-Shiddiq rahiyallahu ‘anhu pun berkata, “Ayah ibuku sebagai jaminan, demi Allah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengumpulkan dua kematian untukmu (wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Adapun kematian yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untukmu telah engkau lewati.”
Demikian juga Abu Bakr rahiyallahu ‘anhu berkata, ”Barangsiapa menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah wafat.”
Hal ini diucapkan Abu Bakr karena berdalil dengan Al-Qur’an sehingga para sahabat pun mengikuti pernyataan Abu Bakr rahiyallahu ‘anhu tersebut.
Adapun jenis kehidupan yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk para syuhada dalam Al-Qur’an, demikian juga jenis kehidupan yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya, adalah jenis kehidupan di alam barzakh yang tidak akan mungkin dapat dirasakan oleh penduduk alam dunia.
Kalau seandainya kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya adalah kehidupan yang dapat dirasakan oleh penduduk alam dunia tentunya Abu Bakr Ash-Shiddiq rahiyallahu ‘anhu tidak perlu menyampaikan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia, tidak perlu dimakamkan, tidak boleh dipilih seorang khalifah sebagai pengganti beliau, Utsman rahiyallahu ‘anhutidak akan terbunuh, para sahabatnya tidak mungkin berselisih, dan tidak mungkin Aisyah rahiyallahu ‘anha mengalami peristiwa pahit dalam sejarah karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membimbing. Kalau memang kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat dirasakan oleh penduduk alam dunia tentunya pada saat-saat tersebut para sahabat akan bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Daf’ul Iihaam 28-30)
Bagaimanakah sebenarnya?
Saudara pembaca...
Banyak sekali dalil yang digunakan orang-orang shufi untuk membenarkan keyakinan mereka tentang kemampuan wali atau nabi yang telah meninggal untuk menolong mereka. Sebagiannya shahih tetapi salah di dalam penempatan atau pemahaman. Yang lainnya adalah dalil-dalil yang lemah bahkan palsu. Berikut ini beberapa dalil yang sering digunakan oleh mereka (termasuk Tim Bahtsul Masail PCNU Jember).
Pertama
Dari Anas bin Malik rahiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ
“Para nabi itu hidup di alam kubur mereka dan menunaikan shalat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Al-Bazzar serta ulama lainnya.
Beberapa waktu lamanya Asy-Syaikh Al-Albani menilai hadits ini dhaif karena beliau menyangka Ibnu Qutaibah sendirian di dalam meriwayatkan hadits ini, sebagaimana pernyataan Al-Baihaqi, dan beliau belum mendapatkan jalan dari Musnad Abu Ya’la dan kitab Akhbar Asbahan. Namun, setelah beliau mendapatkan kedua jalan tersebut maka jelaslah bahwa sanadnya kuat dan pernyataan Al-Baihaqi tidak benar. Oleh karena itu, Asy-Syaikh Al-Albani segera mengeluarkan hadits ini di dalam Ash-Shahihah untuk melaksanakan tanggung jawab dan amanah ilmiah.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa kehidupan para nabi yang ditetapkan di dalam hadits ini adalah kehidupan alam barzakh dan tidak terkait sedikitpun dengan kehidupan alam dunia. Oleh karena itu, kehidupan alam barzakh wajib diimani tanpa membuat permisalan serta mencoba untuk menyerupakan dan menyamakannya dengan kehidupan dunia yang diketahui sekarang. Inilah sikap yang harus diambil oleh seorang mukmin di dalam masalah ini yaitu beriman dengan kandungan hadits ini tanpa menambahkan qiyas (kias/analogi) dan pendapat sendiri-sendiri sebagaimana yang dilakukan ahlul bid’ah, yaitu orang-orang yang sebagian dari mereka sampai-sampai menganggap bahwa kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kuburnya adalah kehidupan hakiki. Ia menyatakan, ”Nabi pun makan, minum, dan menggauli istri-istrinya!!!” Padahal kehidupan di sana hanyalah kehidupan alam barzakh, tidak ada yang mengetahui hakikatnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Silsilah Shahihah 2/187)
Kedua
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Al-Bazzar serta ulama lainnya.
Beberapa waktu lamanya Asy-Syaikh Al-Albani menilai hadits ini dhaif karena beliau menyangka Ibnu Qutaibah sendirian di dalam meriwayatkan hadits ini, sebagaimana pernyataan Al-Baihaqi, dan beliau belum mendapatkan jalan dari Musnad Abu Ya’la dan kitab Akhbar Asbahan. Namun, setelah beliau mendapatkan kedua jalan tersebut maka jelaslah bahwa sanadnya kuat dan pernyataan Al-Baihaqi tidak benar. Oleh karena itu, Asy-Syaikh Al-Albani segera mengeluarkan hadits ini di dalam Ash-Shahihah untuk melaksanakan tanggung jawab dan amanah ilmiah.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa kehidupan para nabi yang ditetapkan di dalam hadits ini adalah kehidupan alam barzakh dan tidak terkait sedikitpun dengan kehidupan alam dunia. Oleh karena itu, kehidupan alam barzakh wajib diimani tanpa membuat permisalan serta mencoba untuk menyerupakan dan menyamakannya dengan kehidupan dunia yang diketahui sekarang. Inilah sikap yang harus diambil oleh seorang mukmin di dalam masalah ini yaitu beriman dengan kandungan hadits ini tanpa menambahkan qiyas (kias/analogi) dan pendapat sendiri-sendiri sebagaimana yang dilakukan ahlul bid’ah, yaitu orang-orang yang sebagian dari mereka sampai-sampai menganggap bahwa kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di kuburnya adalah kehidupan hakiki. Ia menyatakan, ”Nabi pun makan, minum, dan menggauli istri-istrinya!!!” Padahal kehidupan di sana hanyalah kehidupan alam barzakh, tidak ada yang mengetahui hakikatnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Silsilah Shahihah 2/187)
Kedua
مَا مِنْ عَبْدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ رَجُلٍ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ
“Tidak seorang pun yang lewat bertemu dengan kuburan saudaranya seiman –yang pernah mengenalnya-, lalu mengucapkan salam kepadanya, kecuali ia akan mengenalnya dan membalas salamnya.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Majlisan (1/6), Ibnu Jami’ dalam Mu’jam (351), Abul Abbas Al-Asham dalam Ats-Tsani (2/143), Al-Khathib dalam Tarikh (6/137), Tamam dalam Al-Fawaid (1/19/2), Ibnu Asakir (2/209/3), Ad-Dailami (11/4), dan Adz-Dzahabi dalam Siyar (12/590) dari sahabat Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu.
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, “Hadits ini tidak shahih. Sungguh mereka telah sepakat tentang dhaifnya Abdurrahman bin Zaid (salah seorang perawi hadits). Ibnu Hibban menyatakan, ‘Ia sering membolak-balikkan kabar dalam keadaan dia tidak mengerti hingga hal ini banyak terjadi di dalam riwayatnya. Seperti merafa’kan hadits mursal dan mengisnadkan hadits mauquf, maka orang ini berhak untuk ditinggalkan’.” (Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah, 2/911)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: Dan sanad hadits ini lemah sekali. Abdurrahman bin Zaid matruk (haditsnya ditinggalkan, red.) sebagaimana telah dilewati berkali-kali. Adz-Dzahabi membawakan hadits ini dalam biografinya dan termasuk riwayat yang diingkari darinya.
Ada juga jalan lain dari sahabat Ibnu Abbas rahiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr rahiyallahu ‘anhuma dalam Syarah Al-Muwaththa’. Namun sanad hadits ini gharib, Abu Abdillah Ubaid bin Muhammad serta Fathimah bintu Ar-Rayyan Al-Makhzumi Al-Mustamli termasuk perawi yang tidak dikenal.
Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal Al-Qubur (2/83) berkata, “Beliau mengisyaratkan bahwa seluruh perawinya tsiqah, dan memang demikian. Hanya saja hadits ini gharib bahkan mungkar.” (Adh-Dha’ifah 9/473)
Ketiga
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ عِنْدَ قَبْرِيْ سَمِعْتُهُ، وَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ نَائِيًا وُكِّلَ بِهَا مَلَكٌ يُبَلِّغُنِيْ، وَكُفِيَ بِهَا أَمْرُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتُهُ، وَكُنْتُ لَهُ شَهِيْدًا أَوْ شَفِيْعًا
“Barangsiapa bershalawat untukku di samping kuburku maka aku akan mendengarnya. Barangsiapa bershalawat untukku dan ia jauh dariku niscaya akan diwakilkan malaikat yang menyampaikannya untukku. Dan dengan shalawat itu ia dicukupkan urusan dunia dan akhiratnya. Aku akan menjadi saksi atau pemberi syafaat untuknya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Sam’un dalam Al-Amali (2/193/2), Al-Khathib dalam Tarikh (3/291), dan Ibnu Asakir (2/70/16)
Menurut Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam Al-Maudhu’at (1/303) Muhammad bin Marwan adalah seorang perawi kadzaab (pendusta). Al-Uqaili berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya.” Ibnu Abdil Hadi rahimahullahu dalam Ash-Sharim Al-Munki (hal. 190) berkata, “Dia (Muhammad bin Marwan) matrukul hadits muttaham bilkadzib (haditsnya ditinggalkan dan tertuduh dengan kedustaan).”
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Majmu’ Fatawa (27/241), “Hadits ini maudhu’ (palsu), yang meriwayatkan dari Al-A’masy hanya Muhammad bin Marwan As-Suddi, dan dia kadzdzab (pendusta) menurut kesepakatan (ahli hadits). Hadits ini dipalsukan atas Al-A’masy dengan kesepakatan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (1/366), “Hadits ini maudhu’ (palsu) dengan lafadz ini secara keseluruhan.”
Penutup
Saudara pembaca…
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu dalam Siyar A’lam An-Nubala’ (9/409) menyebutkan sebuah kisah singkat tentang Al-Imam Ali Al-Madini. Al-Imam Ali Al-Madini berkata, ”Suatu hari aku pernah menemui Ahmad bin Atha’ Al-Hujaimi. Ketika itu aku menjumpainya sedang membawa lembaran-lembaran kertas untuk menyampaikan hadits. Aku pun bertanya kepadanya, ‘Engkau mendengar sendiri hadits-hadits ini?’
Ia menjawab, ‘Tidak, akan tetapi aku membeli catatan ini karena di dalamnya terdapat hadits-hadits yang bagus sehingga aku bisa menyampaikannya kepada orang lain.’
Aku pun berkata, ‘Apakah engkau tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apakah engkau ingin mendekatkan manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’.”
Kemudian Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu memberikan komentar, ”Orang tersebut tidak mengerti tentang ilmu hadits. Ia hanyalah seorang hamba yang shalih dan telah keliru dalam perkara Al-Qadar. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kedustaan-kedustaan kaum shufiyah. Tidak ada kebaikan kecuali dengan ittiba’ (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan ittiba’ seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengetahui sunnah-sunnah beliau.” Wallahu a’lam bish-shawab.
Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Majlisan (1/6), Ibnu Jami’ dalam Mu’jam (351), Abul Abbas Al-Asham dalam Ats-Tsani (2/143), Al-Khathib dalam Tarikh (6/137), Tamam dalam Al-Fawaid (1/19/2), Ibnu Asakir (2/209/3), Ad-Dailami (11/4), dan Adz-Dzahabi dalam Siyar (12/590) dari sahabat Abu Hurairah rahiyallahu ‘anhu.
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata, “Hadits ini tidak shahih. Sungguh mereka telah sepakat tentang dhaifnya Abdurrahman bin Zaid (salah seorang perawi hadits). Ibnu Hibban menyatakan, ‘Ia sering membolak-balikkan kabar dalam keadaan dia tidak mengerti hingga hal ini banyak terjadi di dalam riwayatnya. Seperti merafa’kan hadits mursal dan mengisnadkan hadits mauquf, maka orang ini berhak untuk ditinggalkan’.” (Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah, 2/911)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: Dan sanad hadits ini lemah sekali. Abdurrahman bin Zaid matruk (haditsnya ditinggalkan, red.) sebagaimana telah dilewati berkali-kali. Adz-Dzahabi membawakan hadits ini dalam biografinya dan termasuk riwayat yang diingkari darinya.
Ada juga jalan lain dari sahabat Ibnu Abbas rahiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr rahiyallahu ‘anhuma dalam Syarah Al-Muwaththa’. Namun sanad hadits ini gharib, Abu Abdillah Ubaid bin Muhammad serta Fathimah bintu Ar-Rayyan Al-Makhzumi Al-Mustamli termasuk perawi yang tidak dikenal.
Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal Al-Qubur (2/83) berkata, “Beliau mengisyaratkan bahwa seluruh perawinya tsiqah, dan memang demikian. Hanya saja hadits ini gharib bahkan mungkar.” (Adh-Dha’ifah 9/473)
Ketiga
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ عِنْدَ قَبْرِيْ سَمِعْتُهُ، وَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ نَائِيًا وُكِّلَ بِهَا مَلَكٌ يُبَلِّغُنِيْ، وَكُفِيَ بِهَا أَمْرُ دُنْيَاهُ وَآخِرَتُهُ، وَكُنْتُ لَهُ شَهِيْدًا أَوْ شَفِيْعًا
“Barangsiapa bershalawat untukku di samping kuburku maka aku akan mendengarnya. Barangsiapa bershalawat untukku dan ia jauh dariku niscaya akan diwakilkan malaikat yang menyampaikannya untukku. Dan dengan shalawat itu ia dicukupkan urusan dunia dan akhiratnya. Aku akan menjadi saksi atau pemberi syafaat untuknya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Sam’un dalam Al-Amali (2/193/2), Al-Khathib dalam Tarikh (3/291), dan Ibnu Asakir (2/70/16)
Menurut Ibnul Jauzi rahimahullahu dalam Al-Maudhu’at (1/303) Muhammad bin Marwan adalah seorang perawi kadzaab (pendusta). Al-Uqaili berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya.” Ibnu Abdil Hadi rahimahullahu dalam Ash-Sharim Al-Munki (hal. 190) berkata, “Dia (Muhammad bin Marwan) matrukul hadits muttaham bilkadzib (haditsnya ditinggalkan dan tertuduh dengan kedustaan).”
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Majmu’ Fatawa (27/241), “Hadits ini maudhu’ (palsu), yang meriwayatkan dari Al-A’masy hanya Muhammad bin Marwan As-Suddi, dan dia kadzdzab (pendusta) menurut kesepakatan (ahli hadits). Hadits ini dipalsukan atas Al-A’masy dengan kesepakatan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (1/366), “Hadits ini maudhu’ (palsu) dengan lafadz ini secara keseluruhan.”
Penutup
Saudara pembaca…
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu dalam Siyar A’lam An-Nubala’ (9/409) menyebutkan sebuah kisah singkat tentang Al-Imam Ali Al-Madini. Al-Imam Ali Al-Madini berkata, ”Suatu hari aku pernah menemui Ahmad bin Atha’ Al-Hujaimi. Ketika itu aku menjumpainya sedang membawa lembaran-lembaran kertas untuk menyampaikan hadits. Aku pun bertanya kepadanya, ‘Engkau mendengar sendiri hadits-hadits ini?’
Ia menjawab, ‘Tidak, akan tetapi aku membeli catatan ini karena di dalamnya terdapat hadits-hadits yang bagus sehingga aku bisa menyampaikannya kepada orang lain.’
Aku pun berkata, ‘Apakah engkau tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apakah engkau ingin mendekatkan manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’.”
Kemudian Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu memberikan komentar, ”Orang tersebut tidak mengerti tentang ilmu hadits. Ia hanyalah seorang hamba yang shalih dan telah keliru dalam perkara Al-Qadar. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kedustaan-kedustaan kaum shufiyah. Tidak ada kebaikan kecuali dengan ittiba’ (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan ittiba’ seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan mengetahui sunnah-sunnah beliau.” Wallahu a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar