Penulis : Al-Ustadz Idral Harits
Ada sebagian orang yang membolehkan taqlid. Namun ternyata hujjah mereka sangat lemah.
Seandainya ada yang mengatakan bahwa sebagian ulama membolehkan taqlid dengan dalil dari Al Qur’an, maka sesungguhnya pendapat itu juga sudah dibantah oleh ulama yang lain, bahkan menjelaskan kerusakan taqlid ini. Berikut ini kami sebutkan keterangan dari Al-Imam Ash-Shan’ani tentang masalah ini:
Beliau mengatakan, “Adapun dalil mereka yang membolehkan taqlid ini di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui!” (An- Nahl: 43)
Mereka menyatakan bahwa dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka yang tidak mengetahui supaya bertanya kepada orang yang lebih mengetahui daripadanya.
Jawabnya: Pertama-tama, kita katakan bahwasanya mengikuti satu madzhab imam tertentu dan menerima seluruh pendapatnya -di mana tidak boleh seseorang keluar dari pendapat itu sedikitpun- adalah perbuatan bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat, maka apa artinya berdalil dengan satu kebid’ahan.
Perbuatan ini dikatakan sebagai satu kebid’ahan karena para muqallid (orang yang taqlid, red) tidak mungkin dapat menyebutkan satu orang di zaman para shahabat yang mengikuti atau taqlid kepada shahabat lainnya dalam semua tindak tanduk dan pendapatnya, atau menggugurkan pendapat shahabat yang lain, atau menta’wil ayat-ayat dan hadits agar sesuai dengan pendapat dan keyakinan orang yang diikutinya. Dan hal ini jelas diketahui oleh siapapun bahwa tidak pernah terjadi demikian di kalangan para shahabat dan bahkan di zaman tiga generasi terbaik umat ini seperti yang telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku (yang aku hidup pada masanya), kemudian (generasi) berikutnya dan berikutnya kemudian (mulai) tersebarlah kedustaan.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud z)
Dan bid’ah taqlid ini baru muncul sesudah tiga abad pertama ini. Adapun ayat yang mereka jadikan sebagai dalil, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan orang yang tidak berilmu untuk bertanya kepada ahli dzikr (ulama). Dan yang dimaksud dengan Adz-Dzikr adalah Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana juga dinyatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)!” (Al-Ahzab: 34)
Dan firman-Nya:
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunnah).” (Al-Jum’ah: 2).
Dengan demikian, perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini adalah perintah kepada orang yang jahil (bodoh) supaya bertanya kepada orang yang mengerti tentang Al Qur’an dan Hadits Rasulullah subhanahu wa ta’ala mengenai hal-hal yang terdapat pada keduanya. Dan apabila ulama sudah menerangkan keduanya kepada yang bertanya, maka wajib bagi si penanya untuk mengikuti keterangan yang disampaikan ulama tersebut.
Perhatikanlah Ibnu ‘Abbas, bagaimana dia bertanya kepada para shahabat yang lain tentang apa yang diucapkan dan dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Juga bagaimana para shahabat bertanya kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal-hal yang luput dari penglihatan mereka, khususnya kepada ‘Aisyah radiallahuanhuma. Bahkan demikian pula keadaan para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, mereka bertanya kepada yang lain tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalil kedua mereka adalah hadits tentang seorang pekerja yang berzina dengan isteri majikannya. Ayah pekerja ini mengatakan, “Saya bertanya kepada ahli ilmu, dan mereka menerangkan bahwa anakku harus dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun dan isteri orang ini harus dirajam.” Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari, dan mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari taqlid kepada orang yang lebih berilmu daripada orang tersebut.
Jawabnya: bahwasanya orang ini bertanya kepada ahli ilmu dan mereka memberi fatwa dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai ketetapan (sunnah) tersebut dalam masalah itu. Dan hadits ini merupakan pendukung bagi ayat tersebut, karena yang dimaksud dengan bertanya kepada ahli dzikr adalah bertanya tentang Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah bukan tentang pendapat mereka pribadi.
Dalil berikutnya, seperti disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali.” (At-Taubah: 122)
Mereka menyatakan wajibnya menerima peringatan yang disampaikan itu, dan ini berarti taqlid kepada mereka.
Jawabnya: Ini menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang pengertian lafaz indzar (memberi peringatan). Bahwasanya seseorang baru dikatakan memberi peringatan apabila dia menyampaikannya dengan hujjah (dalil) yang jelas. Sedangkan orang yang memberi peringatan tanpa hujjah atau dalil maka dia belumlah dikatakan memberi peringatan. Dengan demikian, pengertian “memberi peringatan” dalam ayat ini adalah memberi keterangan kepada mereka dengan hujjah dan bukti sesuai dengan apa yang telah mereka fahami dari hukum-hukum Islam ini.
Dan bukankah sudah jelas bagi kita bagaimana para malaikat penjaga neraka berkata kepada para penghuni neraka, seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
”Apakah belum pernah datang kepada kamu seorang pemberi peringatan? Mereka menjawab: ‘Benar ada. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami dustakan dia dan kami katakan: Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar’. Dan mereka berkata pula: ’Seandainya kami mau mendengar atau memikirkannya niscaya kami tidak akan menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 8-10)
Mereka mengakui bahwa memang sudah datang seorang pemberi peringatan kepada mereka. Dan peringatan tersebut tidak lain adalah dengan hujjah atau dalil. Namun mereka mendustakan peringatan tersebut dengan sikap menentang. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan:
“Merekapun mengakui dosa mereka.” (Al-Mulk: 11)
Akhirnya mereka berkata dengan penuh penyesalan seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut. (Seandainya kami mau mendengar) yakni seandainya kami mau mengamalkan apa yang kami dengar (atau memikirkannya) artinya, seandainya kami beramal dengan apa yang kami pahami. Kalau bukan demikian, sebagaimana sudah dimaklumi bahwa sesungguhnya mereka mendengar dan memahami namun mereka tidak mengamalkannya. Dan ini menunjukkan seolah-olah mereka tidak mempunyai pendengaran dan pemikiran.
Inilah sekelumit jawaban atas alasan atau dalil orang-orang yang membolehkan taqlid.
Wallahu a’lam bish shawab.
Seandainya ada yang mengatakan bahwa sebagian ulama membolehkan taqlid dengan dalil dari Al Qur’an, maka sesungguhnya pendapat itu juga sudah dibantah oleh ulama yang lain, bahkan menjelaskan kerusakan taqlid ini. Berikut ini kami sebutkan keterangan dari Al-Imam Ash-Shan’ani tentang masalah ini:
Beliau mengatakan, “Adapun dalil mereka yang membolehkan taqlid ini di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui!” (An- Nahl: 43)
Mereka menyatakan bahwa dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka yang tidak mengetahui supaya bertanya kepada orang yang lebih mengetahui daripadanya.
Jawabnya: Pertama-tama, kita katakan bahwasanya mengikuti satu madzhab imam tertentu dan menerima seluruh pendapatnya -di mana tidak boleh seseorang keluar dari pendapat itu sedikitpun- adalah perbuatan bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat, maka apa artinya berdalil dengan satu kebid’ahan.
Perbuatan ini dikatakan sebagai satu kebid’ahan karena para muqallid (orang yang taqlid, red) tidak mungkin dapat menyebutkan satu orang di zaman para shahabat yang mengikuti atau taqlid kepada shahabat lainnya dalam semua tindak tanduk dan pendapatnya, atau menggugurkan pendapat shahabat yang lain, atau menta’wil ayat-ayat dan hadits agar sesuai dengan pendapat dan keyakinan orang yang diikutinya. Dan hal ini jelas diketahui oleh siapapun bahwa tidak pernah terjadi demikian di kalangan para shahabat dan bahkan di zaman tiga generasi terbaik umat ini seperti yang telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku (yang aku hidup pada masanya), kemudian (generasi) berikutnya dan berikutnya kemudian (mulai) tersebarlah kedustaan.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud z)
Dan bid’ah taqlid ini baru muncul sesudah tiga abad pertama ini. Adapun ayat yang mereka jadikan sebagai dalil, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan orang yang tidak berilmu untuk bertanya kepada ahli dzikr (ulama). Dan yang dimaksud dengan Adz-Dzikr adalah Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana juga dinyatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)!” (Al-Ahzab: 34)
Dan firman-Nya:
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunnah).” (Al-Jum’ah: 2).
Dengan demikian, perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini adalah perintah kepada orang yang jahil (bodoh) supaya bertanya kepada orang yang mengerti tentang Al Qur’an dan Hadits Rasulullah subhanahu wa ta’ala mengenai hal-hal yang terdapat pada keduanya. Dan apabila ulama sudah menerangkan keduanya kepada yang bertanya, maka wajib bagi si penanya untuk mengikuti keterangan yang disampaikan ulama tersebut.
Perhatikanlah Ibnu ‘Abbas, bagaimana dia bertanya kepada para shahabat yang lain tentang apa yang diucapkan dan dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Juga bagaimana para shahabat bertanya kepada para isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal-hal yang luput dari penglihatan mereka, khususnya kepada ‘Aisyah radiallahuanhuma. Bahkan demikian pula keadaan para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, mereka bertanya kepada yang lain tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalil kedua mereka adalah hadits tentang seorang pekerja yang berzina dengan isteri majikannya. Ayah pekerja ini mengatakan, “Saya bertanya kepada ahli ilmu, dan mereka menerangkan bahwa anakku harus dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun dan isteri orang ini harus dirajam.” Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari, dan mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari taqlid kepada orang yang lebih berilmu daripada orang tersebut.
Jawabnya: bahwasanya orang ini bertanya kepada ahli ilmu dan mereka memberi fatwa dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai ketetapan (sunnah) tersebut dalam masalah itu. Dan hadits ini merupakan pendukung bagi ayat tersebut, karena yang dimaksud dengan bertanya kepada ahli dzikr adalah bertanya tentang Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah bukan tentang pendapat mereka pribadi.
Dalil berikutnya, seperti disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali.” (At-Taubah: 122)
Mereka menyatakan wajibnya menerima peringatan yang disampaikan itu, dan ini berarti taqlid kepada mereka.
Jawabnya: Ini menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang pengertian lafaz indzar (memberi peringatan). Bahwasanya seseorang baru dikatakan memberi peringatan apabila dia menyampaikannya dengan hujjah (dalil) yang jelas. Sedangkan orang yang memberi peringatan tanpa hujjah atau dalil maka dia belumlah dikatakan memberi peringatan. Dengan demikian, pengertian “memberi peringatan” dalam ayat ini adalah memberi keterangan kepada mereka dengan hujjah dan bukti sesuai dengan apa yang telah mereka fahami dari hukum-hukum Islam ini.
Dan bukankah sudah jelas bagi kita bagaimana para malaikat penjaga neraka berkata kepada para penghuni neraka, seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
”Apakah belum pernah datang kepada kamu seorang pemberi peringatan? Mereka menjawab: ‘Benar ada. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami dustakan dia dan kami katakan: Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar’. Dan mereka berkata pula: ’Seandainya kami mau mendengar atau memikirkannya niscaya kami tidak akan menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 8-10)
Mereka mengakui bahwa memang sudah datang seorang pemberi peringatan kepada mereka. Dan peringatan tersebut tidak lain adalah dengan hujjah atau dalil. Namun mereka mendustakan peringatan tersebut dengan sikap menentang. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan:
“Merekapun mengakui dosa mereka.” (Al-Mulk: 11)
Akhirnya mereka berkata dengan penuh penyesalan seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut. (Seandainya kami mau mendengar) yakni seandainya kami mau mengamalkan apa yang kami dengar (atau memikirkannya) artinya, seandainya kami beramal dengan apa yang kami pahami. Kalau bukan demikian, sebagaimana sudah dimaklumi bahwa sesungguhnya mereka mendengar dan memahami namun mereka tidak mengamalkannya. Dan ini menunjukkan seolah-olah mereka tidak mempunyai pendengaran dan pemikiran.
Inilah sekelumit jawaban atas alasan atau dalil orang-orang yang membolehkan taqlid.
Wallahu a’lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar