Kamis, 21 Januari 2010

Jaring-jaring Setan itu Bernama Ghuluw


Penulis : Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar

Setan tak hanya menyerang orang-orang yang bergelimang maksiat, namun juga menjerat hamba-hamba-Nya yang gemar beribadah.

Sesungguhnya setan menggunakan dua cara untuk menyesatkan umat Islam. Cara pertama digunakan untuk mengelabui seorang muslim yang bergelimang maksiat. Yaitu dengan menjadikan maksiat yang ia lakukan seakan-akan sesuatu yang indah. Sehingga ia tetap akan jauh dari ketaatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Al-Jannah dikelilingi oleh segala hal yang tidak disukai, sementara An-Naar itu diliputi dengan syahwat.” (HR. Al-Bukhari no. 6487 dan Muslim no. 2822)
Adapun cara kedua digunakan oleh setan untuk menyesatkan seorang muslim yang gemar beribadah. Yaitu dengan mengajaknya berlaku ghuluw (melampaui batas) di dalam beribadah. Sehingga justru agamanya akan rusak. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang untuk bersikap ghuluw. (Muqaddimah Asy-Syaikh Al-Abbad, kitab Bi Ayyi ‘Aqlin wa Dinin)
Al-Imam Makhlad bin Al-Husain rahimahullahu pernah berkata, “Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat kebaikan melainkan Iblis akan menghadangnya dengan dua cara. Iblis tidak ambil peduli dengan cara apa dia akan menguasainya. Antara bersikap ghuluw di dalam amalan tersebut ataukah sikap meremehkannya.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 9/236)

Definisi Al-Ghuluw

 
Al-Ghuluw secara bahasa bermakna melebihi batasan. Berasal dari kata غَلَا فِي الْأَمْرِ –يَغْلُو-غُلُوًّا. Hal ini sebagaimana dijabarkan oleh Al-Jauhari dalam Ash-Shihah, Ibnu Faris di dalam Al-Mu’jam, Ibnu Manzhur di dalam Al-Lisan, dan Az-Zabidi di dalam Tajul ‘Arus.
Di dalam penggunaannya, seluruh lafadz “ghuluw” selalu bermakna melebihi ukuran dan batasan. Sebagai contoh adalah hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Al-Bukhari (no. 2518). Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang budak yang terbaik untuk dibebaskan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

أَغْلاَهَا ثَمَنًا، وَأَنْفعُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا
“Budak yang paling tinggi harganya dan terbanyak manfaatnya bagi sang majikan.” Kalimat غلَاءُ الثَّمَنِ artinya harganya naik dan melebihi batas kebiasaan.
Demikian pula, sebagai contoh lain, hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ عَلَى أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَتَانِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ، كَمَا يَغْلِي الْمِرْجَلُ
“Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan azabnya adalah seseorang yang dipasangkan dua bara api pada telapak kakinya kemudian otaknya mendidih sebagaimana periuk itu mendidih.” (HR. Al-Bukhari no. 6561 dan Muslim no. 213)

Kalimat غلَاءُ الْمِرْجَلِ artinya periuk yang bertambah panasnya dan naik panasnya dari kebiasaan.
Syaikhul Islam rahimahullahu mendefinisikan ghuluw dengan menyatakan, “Melebihi dari batas, yaitu dengan menambahkan pujian atau celaan dari hak yang seharusnya, dan yang semisal itu.” (Iqtidha’ush Shirath, 1/328)
Adapun di dalam syariat, ghuluw bermakna melebihi batasan yang telah ditetapkan oleh syariat. (Al-Ghuluw, Ali Al-Haddadi, hal. 13)

Haramnya Ghuluw

 
Dienul Islam adalah ajaran yang diturunkan dari sisi Sang Khaliq, yang telah menciptakan langit dan bumi berikut segenap isinya. Sehingga, Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Maha Mengetahui sebatas mana kemampuan dan kekuatan manusia. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan syariat yang sesuai dengan kemampuan mereka. Dienul Islam datang membawa kemudahan bagi pengikutnya, ajaran yang tidak menghendaki adanya keberatan dan kesusahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Maka dari itu, sikap ghuluw dan berlebih-lebihan adalah kesesatan serta jauh dari tujuan-tujuan suci. Berikut ini beberapa dalil tentang haram dan tercelanya sikap ghuluw. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلاَّ الْحَقَّ
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa’: 171)

قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 77)
Di dalam dua ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ahlul kitab dari sikap ghuluw di dalam beragama. Sementara setiap pembicaraan yang ditujukan kepada ahlul kitab di dalam Al-Qur’an dalam bentuk perintah atau larangan juga ditujukan kepada umat Islam. Karena merekalah yang diajak berbicara di dalam Al-Qur’an. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ahlul kitab dari sikap ghuluw, maka umat Islam lebih pantas untuk dilarang. (Al-Ghuluw, ‘Ali bin Yahya, hal. 15)
Di dalam Al-Qur’an juga dengan tegas melarang kita dari sikap melampaui batas. Sementara melampaui batas yang telah diterangkan oleh syar’i merupakan hakikat ghuluw. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Maidah: 87)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman kepada Nabi-Nya berikut para pengikut beliau:

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْا
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.” (Hud: 112)
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan tentang haramnya ghuluw sangat banyak. Di antaranya adalah sebuah hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ -قَالَهَا ثَلاَثًا
“Benar-benar binasa orang-orang yang bersikap tanaththu’.” Beliau mengulangi pernyataan ini sebanyak tiga kali.” (HR. Muslim no. 2670)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu di dalam Syarah Muslim menjelaskan, “Yang dimaksud orang-orang yang bersikap tanaththu’ adalah mereka yang berlebih-lebihan, bersikap ghuluw, dan melampaui batas dari yang telah ditentukan. Baik di dalam ucapan ataupun perbuatan.”
Seseorang yang bersikap tanaththu’ akan mengalami kehancuran. Ia akan merugi. Karena sikap tersebut akan mendorongnya untuk terjatuh dalam dosa kesombongan dan ujub (bangga diri). Ia melihat dirinya telah banyak melakukan amalan shalih. Setan menipunya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang penipuan setan ini:

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu ia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak ditipu syaitan) maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)

كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 12)
Seharusnya seorang muslim takut bila termasuk golongan yang tidak mendapatkan syafa’at dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari kiamat karena perbuatan ghuluw. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu:

صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِي لَنْ تَنَالَهُمَا شَفَاعَتِي: إِمَامٌ ظَلُومٌ غَشُوم ٌ، وَكُلُ غَالٍ مَارِقٍ
“Ada dua golongan dari umatku yang tidak akan memperoleh syafa’at dariku. Yaitu seorang pemimpin yang selalu berbuat zalim dan setiap orang yang berlaku ghuluw, keluar dari jalan kebenaran.” (HR. Ath-Thabarani, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu di dalam Ash-Shahihah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kita tentang bahaya ghuluw dengan memberat-beratkan diri di dalam beribadah. Karena sesungguhnya dienul Islam ini adalah ajaran yang mudah untuk diamalkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama Islam ini mudah. Tidak ada seorang pun yang memberat-beratkan dirinya dalam beragama melainkan dia tidak mampu menjalankannya.” (HR. Al-Bukhari no. 39 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menerangkan bahwa makna hadits ini ialah larangan bagi seseorang yang hendak memberatkan diri dalam amalan din, serta dia meninggalkan kelembutan karena dia tidak akan mampu untuk meneruskan amalan tersebut, berhenti dari ibadah dan pada akhirnya dia akan mengalami kekalahan. (Fathul Bari, ketika mensyarah hadits diatas)
Al-Imam Ibnu Al-Munayyir rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini juga terdapat salah satu tanda-tanda kenabian. Sungguh kami sendiri telah menyaksikan sebagaimana orang-orang sebelum kami juga telah menyaksikan. Bahwa setiap orang yang berlebih-lebihan di dalam beragama pasti akan berhenti. Hal ini bukan bermakna larangan untuk mencari kesempurnaan di dalam ibadah, karena perkara seperti ini sangat terpuji. Hanya saja yang dilarang adalah sikap berlebih-lebihan yang akan mengantarkan pelakunya kepada kejenuhan. Demikian juga bila sikap tersebut mengakibatkan dia meninggalkan perkara yang lebih afdhal atau yang berakibat pelaksanaan sesuatu yang wajib bukan pada waktunya. Seperti seseorang yang semalam suntuk shalat malam. Dia akan merasakan kantuk yang sangat berat di pengujung malam. Akhirnya dia tidak dapat melaksanakan shalat shubuh secara berjamaah.” (Fathul Baari)
Sebagai bentuk cinta dan kasih sayang, dalam setiap kesempatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membimbing umat untuk menjauhi sikap ghuluw. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Waspadalah dan berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam beragama. Karena sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian disebabkan ghuluw yang mereka perbuat di dalam beragama.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Adh-Dhiya’. Hadits ini ditakhrij dalam Ash-Shahihah no. 1238)
Larangan ghuluw ini sebenarnya dipicu sebuah kejadian di pagi hari Aqabah. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan bahwa beliau diminta oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu sedang berada di atas kendaraannya, untuk memungut kerikil-kerikil. Setelah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyerahkan kerikil-kerikil yang akan digunakan untuk melempar jumrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meletakkannya di tangan lalu bersabda:
“Hendaknya dengan kerikil-kerikil semacam inilah. Waspadalah dan berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam beragama. Karena sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian disebabkan ghuluw yang mereka perbuat di dalam beragama.”
Walaupun larangan ini dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena disebabkan sebuah peristiwa secara khusus, namun hukum ini berlaku secara umum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ketika membicarakan hadits di atas berkata, “(Larangan ini) bersifat umum, mencakup seluruh jenis ghuluw. Di dalam perkara keyakinan maupun amalan.”
Saudaraku... sikap ghuluw adalah sikap tercela sebagai warisan dari ahlul kitab. Kita dilarang untuk meniru mereka. Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدِّدُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ بِتَشْدِيدِهِمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَسَتَجِدُونَ بَقَايَاهُمْ فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارَاتِ
“Janganlah kalian memberat-beratkan diri kalian. Karena sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian hanyalah disebabkan mereka memberat-beratkan diri. Dan kalian akan menemukan sisa-sisa mereka di dalam pertapaan dan biara.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari di dalam At-Tarikh. Lihat As-Silsilah Ash-Shahihah, 3124)
Di dalam perkara yang dianggap biasa sekalipun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menjauhi sikap berlebihan. Perkara memuji seseorang adalah satu hal yang biasa dilakukan. Namun apabila pujian tersebut disampaikan secara berlebihan justru akan menyeret pada dampak yang berbahaya. Orang yang dipuji secara berlebih tentu akan merasa ujub dan sombong.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu meletakkan sebuah bab di dalam Shahih Muslim, Bab Larangan Memuji, apabila berlebihan dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang yang dipuji. Dari Abu Musa Al-’Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang memuji orang lain dan berlebihan di dalam memuji. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

لَقَدْ أَهْلَكْتُمْ -أَوْ قَطَعْتُمْ- ظَهْرَ الرَّجُلِ
“Sungguh kalian telah mencelakakan orang tersebut.”
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kita untuk menaburkan pasir ke wajah orang yang senang berlebihan di dalam memuji sebagaimana dikabarkan oleh Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu ‘anhu.
Secara khusus lagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari sikap berlebih-lebihan di dalam memuji beliau. Karena kekhawatiran beliau bahwa umat Islam akan jatuh pada kesalahan yang dilakukan orang-orang Nasrani. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan sebuah hadits dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan di dalam memuji diriku sebagaimana orang-orang Nashara berlebih-lebihan di dalam memuji Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.”
Betapa besar perhatian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat Islam. Beliau benar-benar sayang dan mencintai pengikutnya. Semua telah ditunjukkan sepanjang hidup beliau. Di antara sekian banyak buktinya adalah pengingkaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang sahabat yang bernadzar untuk melakukan sesuatu yang berat. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, di saat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah, beliau melihat seseorang sedang berdiri di bawah terik matahari. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang orang tersebut. Para sahabat menjawab, “Dia adalah Abu Israil. Dia bernadzar untuk berdiri di bawah terik matahari dan tidak akan duduk, juga tidak ingin berteduh atau berbicara dalam keadaan dia berpuasa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
“Perintahkan dia untuk berbicara, juga berteduh dan duduk, lalu menyempurnakan puasanya.” (HR. Al-Bukhari)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Nadzar yang diucapkan sahabat ini mengandung perkara yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ada pula yang tidak dicintai-Nya. Adapun yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah puasa. Karena puasa bagian dari ibadah. Sementara Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: ‘Barangsiapa yang bernadzar di dalam ketaatan kepada Allah hendaknya ia tunaikan nadzarnya dengan menaatinya.’
Adapun perbuatan sahabat itu yang berdiri di bawah terik matahari tanpa berteduh. Demikian juga sikapnya yang tidak mau berbicara. Hal ini tidaklah dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat tersebut untuk meninggalkan nadzarnya.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Kesimpulannya, kebaikan yang hendak kita kejar haruslah dengan pertimbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah disertai pemahaman salaful ummah. Tidak setiap amalan yang kita anggap baik benar-benar sebuah kebaikan, kecuali dengan dilandaskan oleh dalil.
Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar