Minggu, 17 Januari 2010

Siapakah Al-Jibt dan Thaghut?

Penulis : Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin


أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا
“Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada Al-Jibt dan thaghut, serta mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (An-Nisa’: 51-52)

Sebab Turunnya Ayat
Ibnu Jarir rahimahullahu meriwayatkan (5/133): Muhammad bin Al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi ‘Adi telah menceritakan kepada kami, dari Dawud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Ketika Ka’b bin Asyraf tiba di Makkah, orang-orang Quraisy berkata kepadanya: “Engkau adalah orang yang paling baik dari penduduk Madinah dan pemuka mereka.” Ia menjawab: “Ya (betul)!” Mereka berkata: “Maukah kamu melihat kepada seorang shanbur1 yang terputus dari kaumnya? Ia mengaku bahwa dirinya lebih baik dari kami. Sementara kami yang lebih memerhatikan orang-orang yang menunaikan haji, pengabdi Ka’bah, dan memberi minum (bagi orang-orang yang menunaikan ibadah haji) setiap zaman (terlebih pada musim dingin saat paceklik).” Ia berkata: “Kalian lebih baik daripada dia.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Maka turunlah ayat:

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dia yang terputus.” (Al-Kautsar: 3)
Turun juga ayat:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا. أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا
“Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut serta mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.” (An-Nisa: 51)
Hadits ini juga disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu dalam Tafsirnya (1/513). Beliau berkata: Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: Muhammad bin Abi ‘Adi menceritakan kepadaku…, dengan sanad seperti di atas.
Ibnu Hibban rahimahullahu juga meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, sebagaimana terdapat dalam kitab Mawarid Azh-Zham’an (hal. 428). Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu berkata: “Semua perawinya adalah para perawi shahih. Hanya saja yang rajih (kuat) bahwa (hadits ini) mursal (ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, pen.), sebagaimana yang disebutkan dalam Takhrij Tafsir Ibnu Katsir2.” (Lihat Ash-Shahih Al-Musnad min Asbabin Nuzul, Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu, hal. 77)

Penjelasan Mufradat Ayat

أَلَمْ تَرَ
“Apakah kamu tidak memerhatikan...” Sebagian ulama ada yang memakai kalimat ini dengan makna أَلَمْ تَرَ بِقَلْبِكَ yakni أَلَمْ تَعْلَمْ. Artinya, apakah kamu tidak melihat (dengan penglihatan hati/ilmu) dengan membawa kepada makna ru’yah qalbiyah atau ilmiyah.
Ada pula yang memaknai النَّظَرُ (melihat dengan penglihatan mata) dengan membawa kepada makna ru’yah bashariyah, sehingga artinya apakah kamu tidak memerhatikan (melihat dengan mata).
Banyak para ulama tafsir yang menguatkan makna pertama, ru’yah qalbiyah atau ‘ilmiyah. Karena orang-orang Arab menempatkan kata الْعِلْمُ (pengetahuan) pada makna الرُّؤْيَةُ (penglihatan). Yakni kata ‘melihat’ dimaknakan dengan ‘mengetahui’. Demikian pula sebaliknya, mereka menempatkan kata الرُّؤْيَةُ (penglihatan) pada makna الْعِلْمُ. Yakni kata ‘mengetahui’ dimaknakan dengan ‘melihat’. Seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (sebagai misal penglihatan bermakna pengetahuan).

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
“Apakah kamu tidak memerhatikan (dengan hati/ilmu) bagaimana Rabb-Mu telah bertindak kepada tentara gajah.” (Al-Fiil: 1)
Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (sebagai misal pengetahuan bermakna penglihatan):

وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ
“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata terlihat) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.” (Al-Baqarah: 143)
Kalimat ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ bermakna إِلَّا لِنَرَى مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ, artinya: “Melainkan agar Kami bisa melihat dengan nyata siapa yang mengikuti Rasul….” (Lihat Tafsir Ath-Thabari, Al-Alusi)
Ada pula yang memaknakan الرُّؤْيَةُ dalam ayat ini adalah ru’yah bashariyah bermakna melihat, dengan dalil bahwa kalimat رَأَ ى di sini muta’addi dengan huruf إِلَى sehingga maknanya menjadi النَّظَرُ (melihat dengan mata). (Lihat Al-Jadid fi Syarhi Kitabit Tauhid, karya Asy-Syaikh Muhammad Al-Qar’awi rahimahullahu hal. 143, Al-Qaulul Mufid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, 1/468)
Huruf hamzah istifham (pertanyaan) dalam kalimat ﮍ ﮎ ketika masuk/bergandeng bersama huruf nafi لَمْ, mengubah kalimat pertanyaan yang ada menjadi kalimat penetapan. Atau diistilahkan oleh para ulama dengan istifham lit taqrir atau lil ijab.
Kalimat أَلَمْ تَرَ dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebutkan suatu perkara yang mengherankan (mengagumkan). Seperti kekaguman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang yang bernama Mujazziz Al-Mudliji. Dalam sebuah hadits3, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku dalam keadaan wajah beliau berseri-seri sambil terheran-heran. Beliau berkata:
أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ مُجَزِّزًا الْمُدْلِجِيَّ دَخَلَ عَلَيَّ فَرَأَى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ وَزَيْدًا وَعَلَيْهِمَا قَطِيفَةٌ قَدْ غَطَّيَا رُءُوسَهُمَا وَبَدَتْ أَقْدَامُهُمَا فَقَالَ: إِنَّ هَذِهِ الْأَقْدَامَ بَعْضُهَا مِنْ بَعْضٍ
“Apakah kamu tidak memerhatikan (dengan penglihatan hati/ilmu) Mujazziz Al-Mudliji (sambil terheran-heran)? Dia baru saja masuk rumah kemudian melihat (menyaksikan) Zaid bin Haritsah dan putranya Usamah bin Zaid sedang berbaring tidur. Kepala keduanya tertutupi oleh qathifah (kain beludru), tetapi kaki-kakinya terlihat. (Mereka berdua tidur dengan satu selimut, sementara kaki-kakinya tersingkap. Zaid berkulit putih, sedangkan Usamah berkulit hitam, pen.) Kemudian Mujazziz berkata: ‘Sesungguhnya kaki-kaki ini sebagiannya adalah dari sebagian yang lain (yakni ada hubungan kerabat’.”


إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا
“Orang-orang yang didatangkan…,” maknanya yaitu orang-orang yang diberi dan tidak diberi seluruh Al-Kitab (sebagian saja). Mereka diharamkan (terhalangi) mendapatkan seluruh kitab karena kemaksiatan yang mereka lakukan. (Al-Qaulul Mufid, 1/468)
Mayoritas ulama ahli tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah sekumpulan ahlul kitab dari kalangan Yahudi.
Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullahu berkata: “Mungkin juga mereka yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang disebut oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, seperti Huyai bin Akhthab dan Ka’b bin Al-Asyraf.”
Ibnu Katsir rahimahullahu menyebutkan riwayat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari jalan ‘Ikrimah atau Sa’id bin Jubair, maknanya bahwa mereka Huyai bin Akhthab, Salam bin Abil Haqiq, Abu Rafi’, Ar-Rabi’ bin Abil Haqiq, Abu ‘Amir, Wahwah bin ‘Amir, Burdah bin Qais. Wahwah, Abu ‘Amir, dan Burdah berasal dari Bani Wail, sedangkan yang lain semuanya dari Bani Nadhir. (Ibnu Katsir, 1/486)
نَصِيبًا
“Bagian.”
Banyak ahli tafsir memaknai kata ﯺ dalam ayat ini dengan nasib atau bagian, seperti Ath-Thabari, Al-Qurthubi, dan yang lain. Sebagian ada yang memaknai dengan makna بَعْضًا (sebagian dari), seperti Al-Alusi.

مِنَ الْكِتَابِ
“dari Al-Kitab,” yaitu Taurat. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Al-Kitab di sini mencakup Taurat dan Injil. Kalimat ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ , Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan dengan kalimat أُوتُوا الْكِتَابِ. Karena diberi sebagiannya saja, mereka tidak memiliki ilmu yang sempurna terhadap apa yang ada dalam Al-Kitab. (Al-Qaulul Mufid 1/469)

يُؤْمِنُونَ
“Mereka percaya,” yaitu percaya (beriman) kepada al-jibt dan thaghut, kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam keadaan mereka mengetahui bahwa beriman kepada keduanya adalah kufur, percaya kepada keduanya adalah syirik. (Tafsir Ath-Thabari)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu menerangkan: “Maknanya adalah membenarkan, menetapkan, dan tidak mengingkarinya.”

بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
“Kepada al-jibt dan thaghut.”
Ada beberapa pendapat ulama dalam memaknai kata al-jibt. Di antaranya:
1. Al-Jibt adalah sihir. Ini adalah pendapat Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, ‘Atha, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adh-Dhahak, dan As-Suddi.
2. Al-Jibt adalah setan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abul Aliyah, Mujahid, Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, ‘Athiyyah, dan Qatadah.
3. Al-Jibt adalah syirik. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menurut bahasa orang Habasyah.
4. Al-Jibt adalah al-ashnam (patung-patung). Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
5. Al-Jibt adalah al-kahin (dukun). Ini adalah pendapat Asy-Sya’bi, Abul Aliyah, Muhammad bin Sirin, dan Makhul.
6. Al-Jibt adalah Huyai bin Akhthab. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
7. Al-Jibt adalah Ka’b bin Al-Asyraf. Pendapat ini dikatakan oleh Mujahid.
8. Al-Jibt adalah suara (bisikan) setan. Pendapat ini dilontarkan oleh Al-Hasan.
9. Abu Nashr bin Ismail bin Hammad Al-Jauhari dalam kitabnya Ash-Shihah, menyebutkan bahwa Al-Jibt adalah suatu kalimat yang dipakai untuk memaknai patung, dukun, tukang sihir, dan yang lainnya.
10. Al-Jibt adalah tukang sihir (menurut bahasa Habasyah). Pendapat ini dinyatakan Ibnu Zaid, Sa’id bin Jubair, Abul Aliyah, Ibnu Sirin, dan Makhul.
11. Al-Jibt adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Imam Malik bin Anas.

Tentang kata thaghut, juga ada beberapa pendapat:
1. Setan. Ini pendapat Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abul Aliyah, Atha’, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Adh-Dhahhak, As-Suddi, dan ‘Ikrimah.
2. Tandingan-tandingan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, berhala-berhala dan semua yang setan menyeru (mengajak) kepadanya.
3. Al-Kahin (dukun). Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, Abul Aliyah, dan Qatadah.
4. Ibnul Qayyim berkata: “Thaghut adalah segala sesuatu yang dengannya seorang hamba melampaui batas, baik berupa yang diibadahi, yang diikuti, atau yang ditaati.”
Ahlul ilmi mengatakan bahwa makna atau tafsir inilah yang paling menyeluruh, sedangkan penafsiran yang lain merupakan tafsir misal (bentuk konkret yang ada).
Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Pendapat yang memaknakan kata thaghut dengan setan adalah pendapat yang kuat sekali, karena mencakup seluruh kejelekan dan keburukan yang dahulu dilakukan orang-orang jahiliah. Seperti menyembah berhala, mengadukan perkara kepadanya (sebagai pemutus dan pengatur), dan meminta tolong kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/294)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Yang benar dari pendapat para ulama tentang makna kata al-jibt dan thaghut adalah membenarkan (memercayai) dua perkara yang diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyembah (beribadah kepada)nya, dan menjadikan keduanya sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena al-jibt dan thaghut adalah dua nama yang diperuntukkan bagi segala sesuatu yang dimuliakan (diagungkan) selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan melakukan peribadatan (menyembah), menaati, dan tunduk (merendahkan dan menghinakan diri) kepadanya, apapun bentuknya. Baik berupa batu, manusia, maupun setan.
Jika segala sesuatu tadi (batu dan yang selainnya) diperlakukan sedemikian rupa (disembah, ditaati, dan seterusnya) maka berhala-berhala yang dahulu disembah orang-orang jahiliah telah menjadi sesuatu yang dimuliakan (diagungkan) dengan melakukan ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengannya, berhala-berhala itu telah menjadi al-jibt dan thaghut.
Demikian pula setan yang dahulu ditaati orang-orang kafir dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Termasuk pula tukang sihir dan dukun, yang ucapan keduanya diterima (dipercaya) oleh orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sedangkan Huyai bin Akhthab dan Ka’b bin Asyraf, keduanya adalah orang yang berilmu dari kalangan orang-orang Yahudi, tetapi keduanya bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga keduanya termasuk al-jibt dan thaghut.

وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلًا.
“Dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Mereka mengutamakan orang-orang kafir daripada orang-orang muslim disebabkan kejahilan, sedikitnya pemahaman terhadap agama mereka, dan ingkarnya mereka terhadap Kitabullah (Taurat) yang ada pada mereka. Misalnya seperti yang tersebut dalam asbabun nuzul di atas.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/486)

أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ وَمَنْ يَلْعَنِ اللهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ نَصِيرًا
“Mereka itulah orang yang dikutuk Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Inilah laknat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka, sekaligus berita bahwa tidak ada penolong bagi mereka baik di dunia maupun di akhirat. Karena mereka datang kepada kaum musyrikin hanya untuk meminta pertolongan. Mereka mengatakannya kepada kaum musyrikin, agar kaum musyrikin condong kepada mereka dan kemudian mau menolong mereka. Hal itu telah dikabulkan dan dibuktikan dengan datangnya mereka bersama-sama pada Perang Ahzab, hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya membuat parit di sekitar Madinah. Cukuplah hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menolak kejahatan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَرَدَّ اللهُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوا خَيْرًا وَكَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ وَكَانَ اللهُ قَوِيًّا عَزِيزًا
“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Ahzab: 25)

Makna dan Faedah Ayat 

 
Asy-Syaikh Sa’di rahimahullahu, setelah menyebutkan ayat di atas, mengatakan: “Ini termasuk di antara keburukan, kejelekan, dan kedengkian orang-orang Yahudi terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin. Akhlak mereka yang rendah dan tabiat yang buruk, telah membawa mereka untuk tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menggantinya dengan beriman kepada al-jibt dan thaghut, yaitu beriman kepada segala bentuk peribadatan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau berhukum dengan selain syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk dalam hal ini adalah sihir dan perdukunan, beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, menaati (mengikuti) setan. Semua ini termasuk bagian dari al-jibt dan thaghut. Demikian pula perbuatan mereka berupa kekufuran, kedengkian dengan mengutamakan jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala –para penyembah berhala– di atas jalan yang ditempuh orang-orang beriman, dengan: mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah) bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. (Tafsir As-Sa’di hal. 182)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan: “Banyak orang yang mengaku Islam, berpaling dari (ajarannya) hingga membuang jauh-jauh Al-Qur’an di belakang punggung mereka serta rela mengikuti apa yang dibisikkan oleh setan. Ia tidak mengagungkan perintah Al-Qur’an dan larangan-Nya, tidak berloyalitas kepada orang yang diperintahkan Al-Qur’an untuk berloyal kepadanya, dan tidak memusuhi orang yang diperintahkan Al-Qur’an untuk memusuhinya. Bahkan dia mengagungkan orang yang mampu melakukan beberapa perkara yang luar biasa. Sebagian mereka ada yang tahu bahwa perkara luar biasa itu datangnya dari setan, tetapi tetap mengagungkannya karena dorongan hawa nafsu, hingga dia mengutamakannya di atas jalan (petunjuk) Al-Qur’an, sebagaimana orang-orang kafir (Yahudi). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang mereka:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ
“Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada Al-Jibt dan thaghut.” (An-Nisa’: 51) (Majmu’ Fatawa, Tafsir Surat An-Nisa’)
Ayat ini termasuk ayat yang pertama dicantumkan oleh Syaikul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dalam Kitabut Tauhid, pada bab Ma Ja’a anna Ba’dha Hadzihil Ummati Ya’budu Al-Autsan (Penjelasan adanya sebagian umat ini yang menyembah berhala).
Asy-Syaikh Muhammad Al-Qar’awi rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Jadid (hal. 143): “Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengarahkan pandangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus dan kaum muslimin secara umum, pada beberapa perbuatan orang-orang Yahudi yang menyimpang lagi mungkar. Yaitu mereka memercayai penyembahan berhala serta mengedepankan peribadatan tersebut di atas peribadatan orang-orang mukmin terhadap Rabb mereka, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berada padanya. Walaupun mereka (orang-orang Yahudi) mengetahui bahwa kitab mereka yang dahulu (Taurat) telah menerangkan, agama Islam lebih utama daripada peribadatan kepada berhala, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar adanya, serta apa yang dibawa adalah perkara yang haq; akan tetapi sifat dengki dan dendam membutakan mereka serta menghalangi untuk mengucapkan kebenaran. Mereka kemudian membuat tipu daya dengan bermuka manis di hadapan orang kafir dan perbuatan mereka (peribadatan kepada berhala). Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala enggan (dengan semua itu) kecuali untuk menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukai.”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata: “Alasan Asy-Syaikh Muhammad memberi judul dalam bab ini adalah untuk membantah orang yang mengatakan bahwa kesyirikan tidak mungkin terjadi (dilakukan) pada umat ini. Mereka mengingkari bahwa peribadatan kepada kuburan dan para wali termasuk bagian dari syirik, karena umat ini telah terjaga dari kesyirikan berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Jabir radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya setan telah putus asa dari disembah oleh orang-orang yang shalat di jazirah Arab, akan tetapi dengan mengadu domba mereka.” (HR. Muslim)
Terhadap syubhat ini beliau menjawab: “Keputusasaan setan pada suatu perkara yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebabkan setan telah menyaksikan Fathul Makkah dan masuknya manusia berbondong-bondong ke dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi kenyataan yang akan terjadi tidak mengharuskan keadaannya sesuai dengan apa yang disangka oleh setan. Bahkan yang terjadi bisa berbeda.” (Al-Qaulul Mufid, 1/467)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu, setelah menyebutkan judul yang disebutkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu di atas, menerangkan: “Maksud dari judul ini adalah mengingatkan dari kesyirikan dan menumbuhkan rasa khawatir terhadapnya, bahwa syirik merupakan perkara yang pasti terjadi pada umat ini, serta sebagai bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa seseorang yang telah mengucapkan kalimat Laa ilaha illallah dan disebut sebagai orang Islam, akan tetap senantiasa tetap berada di atas keislamannya walaupun melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya, seperti beristighatsah (meminta perlindungan/ keselamatan) kepada penghuni kubur, berdoa kepada mereka, serta menyebut perbuatan itu sebagai tawassul dan bukan ibadah. Ini adalah perkara yang batil. Karena al-watsan (berhala) adalah nama yang mencakup seluruh perkara yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada bedanya antara pohon, batu, maupun bangunan (seperti kuburan, prasasti, dll, pen.). Tidak ada bedanya pula apakah yang dikultuskan itu nabi, orang-orang shalih, atau orang-orang yang buruk (jahat). Hal itu tetaplah merupakan ibadah, sedangkan ibadah hanyalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Maka barangsiapa berdoa atau beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti ia telah menjadikan (sesuatu yang diibadahi itu) sebagai berhala dan mengeluarkan dirinya dari agama Islam, sehingga tidaklah bermanfaat pengakuan bahwa dirinya adalah muslim. Betapa banyak orang musyrik yang mengaku dirinya beragama Islam. Begitu juga orang-orang mulhid (atheis), kafir, dan munafik. Karena yang teranggap pada diri seseorang adalah ruh agama dan hakikatnya (bertauhid yang benar dan beramal shalih), bukan sekadar nama dan julukan yang tidak ada hakikatnya.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 102-103)
Ayat di atas juga menunjukkan bahwasanya ilmu terkadang tidak memberikan manfaat bagi pemiliknya dan tidak menjaganya dari kesesatan. Adalah hal yang mengherankan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kepada sebagian hamba-Nya ilmu, namun justru tidak memberikan manfaat baginya. Maka ilmu itu (akan) menjadi sesuatu yang akan menghujat dirinya.
Di antara faedah ayat ini juga adalah wajibnya memperingatkan dan menjauhkan (umat) dari al-jibt dan thaghut dengan segala bentuknya.
Faedah yang lain, bahwa sebagian umat ini ada yang percaya kepada al-jibt dan thaghut, sebagaimana disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu dalam salah satu bab dalam Kitabut Tauhid.
Wallahu a‘lam bish-shawab.

1 Shanbur adalah seorang laki-laki yang sendirian, lemah, rendah, tidak punya keluarga (ayah, ibu, kerabat), tidak punya keturunan (cucu), tidak punya penolong, dan sangat hina. (Al-Qamus 2/73)
2 Isyarat kepada Takhrij Tafsir Ibnu Katsir yang ditulis oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dan sebagian murid beliau. Adapun yang pernah kami jumpai baru sampai surat Al-An’am, dan sudah dicetak. Wallahu a’lam bish-shawab.
3 HR. Al-Bukhari (no. 3731, 6770, 6771, dengan Al-Fath 12/66-68), Muslim (no. 1459, dengan Syarh Shahih Muslim
, 10/282-284).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar