Jumat, 15 Januari 2010

Kebatilan yang Tersamarkan

  Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (An-Nisa’: 29)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
لاَ تَأْكُلُوا


“Jangan kalian memakan.”
Yang dimaksud ‘makan’ di sini adalah segala bentuk tindakan, baik mengambil atau menguasai. (Tafsir Al-Alusi)
Ibnul Arabi rahimahullahu menjelaskan: “Maknanya, janganlah kalian mengambil dan janganlah kalian menempuh caranya.” (Ahkam Al-Qur’an, 1/97)

أَمْوَالَكُمْ
“Harta-harta kalian”, meliputi seluruh jenis harta, semuanya termasuk kecuali bila ada dalil syar’i yang menunjukkan kebolehannya. Maka segala perkara yang tidak dibolehkan mengambilnya dalam syariat berarti harta tersebut dimakan dengan cara yang batil. (Fathul Qadir)

بِالْبَاطِلِ
“Dengan cara yang batil.”
Yaitu segala perkara yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk di dalamnya hasil riba, pencurian, perjudian, dan lain sebagainya. Al-Jashshash rahimahullahu mengatakan: “Memiliki harta dengan cara terlarang.” (Ahkamul Qur’an, 4/300)

Penjelasan Makna Ayat
Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin untuk memakan harta sebagian mereka terhadap sebagian lainnya dengan cara yang batil. Yaitu dengan segala jenis penghasilan yang tidak syar’i, seperti berbagai jenis transaksi riba, judi, mencuri, dan lainnya, yang berupa berbagai jenis tindakan penipuan dan kezaliman. Bahkan termasuk pula orang yang memakan hartanya sendiri dengan penuh kesombongan dan kecongkakan. (Tafsir Ibnu Katsir, Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Ibnu Jarir rahimahullahu mengatakan: “Ayat ini mencakup seluruh umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maknanya adalah: ‘Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain tanpa hak.’ Termasuk dalam hal ini adalah perjudian, penipuan, menguasai (milik orang lain), mengingkari hak-hak (orang lain), apa-apa yang pemiliknya tidak ridha, atau yang diharamkan oleh syariat meskipun pemiliknya ridha.” (Tafsir Ath-Thabari dalam menjelaskan surah Al-Baqarah ayat 188)
Dari penjelasan para ulama tentang hal ini, kita bisa memberi kesimpulan bahwa memakan harta dengan cara yang batil terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: mengambilnya dengan cara zalim seperti mencuri, khianat, suap, dan yang lainnya.
Kedua: apa yang diharamkan oleh syariat meskipun pemilik harta itu ridha. (Ahkamul Qur'an, Al-Jashshash 1/312)
Selain dalam surah An-Nisa ayat 29, ayat-ayat yang menyebutkan haramnya memakan harta manusia dengan cara batil juga terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 188, An-Nisa ayat 161, dan At-Taubah ayat 34.

Beberapa bentuk memakan harta dengan cara batil
Banyak cara manusia dalam memperoleh harta, namun tidak semua cara tersebut dihalalkan di dalam Islam. “Tujuan menghalalkan segala cara” bukanlah termasuk kaidah di dalam Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ: أَخَذَ الْحَلَالَ وَتَرَكَ الْحَرَامَ
“Perbaikilah dalam mencari rezeki, dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 6/2607)
Memakan harta manusia dengan cara yang batil memiliki banyak bentuk. Namun di sini akan kami sebutkan beberapa contoh yang mungkin sering terjadi di kalangan manusia. Di antaranya adalah:

a. Memakan hasil riba
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا. وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa’: 160-161)
Al-’Aini rahimahullahu menjelaskan: “Bahwa pelaku riba tidak ridha dengan apa yang telah menjadi pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala dari (perkara) yang halal dan tidak merasa cukup dengan apa yang disyariatkan berupa penghasilan yang dibolehkan. Alhasil, dia menempuh cara batil memakan harta manusia dengan berbagai usaha yang buruk. Artinya, dia mengingkari apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya berupa kenikmatan. Dia berbuat zalim serta berdosa karena memakan harta manusia dengan cara yang batil.” (‘Umdatul Qari, Al-Aini, 8/269)
Segala yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan riba tersebut, termasuk yang menanamkan modal ke dalamnya, serta menghasilkan keuntungan, tergolong dalam memakan harta dengan cara batil.
Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya: “Apakah orang-orang yang ikut serta menanamkan modal ke bank manapun yang bermuamalah dengan cara demikian (riba), keuntungannya termasuk riba?”
Mereka menjawab: “Iya. Setiap yang ikut serta menanam modal pada bank yang bermuamalah dengan cara riba, maka keuntungannya termasuk riba, dan (ini artinya) memakan harta manusia dengan cara yang batil.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 2256)

b. Mengambil harta dengan cara menipu
Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya: “Acap terjadi dalam usaha bengkel mobil. Jika salah seorang dari mereka ingin memperbaiki mobil konsumen di mana mobil ini membutuhkan pergantian suku cadang, maka mekanik ini membeli suku cadang tersebut dan meminta penjual suku cadang menuliskan dalam nota jumlah yang melebihi harga sebenarnya. Sehingga dia mengambil kelebihan tersebut secara menyeluruh dari pemilik mobil. Apakah hukum syar’i terhadap perbuatan ini?”
Mereka menjawab: “Wajib atas setiap muslim untuk berbuat jujur dalam setiap muamalah. Tidak diperbolehkan baginya berdusta dan mengambil harta manusia tanpa hak. Termasuk di antaranya adalah siapa yang diberi kuasa/mewakili saudaranya untuk membeli sesuatu, tidak boleh baginya mengambil tambahan harga dari apa yang telah dibelinya. Sebagaimana tidak boleh pula yang menjual barang kepadanya menulis di nota harga yang bukan sebenarnya, untuk menipu orang yang memberi kuasa, sehingga dia membayar melebihi harga sebenarnya dan diambil oleh yang diwakilkan. Sebab ini termasuk tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan, serta memakan harta manusia dengan cara batil. Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya. Wabillahit taufiq. Shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Alusy Syaikh
(Fatawa Al-Lajnah, 14/275-276, no. 15376)

c. Memungut pajak
Diterapkannya perpajakan di sekian banyak negara, termasuk pula negeri-negeri kaum muslimin, merupakan bentuk mengambil harta manusia dengan cara yang batil dan zalim. Sebab tidak diperbolehkan mewajibkan sesuatu atas manusia, baik muslim maupun kafir pada harta mereka, kecuali apa yang telah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asy-Syaukani rahimahullahu mengatakan: “Kesimpulannya bahwa hukum asal harta manusia, baik muslim maupun kafir adalah haram (untuk diambil).” –Beliau lalu menyebutkan ayat di atas– kemudian berkata: “Maka harus ada dalil yang menunjukkan dihalalkannya sesuatu yang dituntut tersebut.” (Dinukil oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiyyah, 1/278-280)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengancam para pemungut pajak dalam beberapa haditsnya. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ صَاحِبَ الْـمَكْسِ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya pemungut pajak dalam neraka.” (HR. Ahmad, 4/109, Ath-Thabarani, 5/29, dari hadits Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah, Al-Albani, 7/3405)
Dalam riwayat lain dari hadits ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak masuk surga pemungut pajak.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2333, Ad-Darimi no. 1666, dengan sanad hasan lighairihi)
Adapun makna ‘al-maks’, dijelaskan Ibnul Atsir rahimahullahu: “Al-Maks adalah pajak yang diambil oleh pemungutnya dari para pedagang.” (An-Nihayah, 4/349. Lihat pula yang semakna dalam Lisanul ‘Arab, 13/160)
Dalam Al-Qamus disebutkan: “م-ك-س jika dia mengambil harta, dan maks; mengurangi dan menzalimi beberapa dirham yang diambil dari penjual barang di pasar pada masa jahiliah.”
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith: “Al-Maks adalah pajak yang diambil oleh pemungutnya dari para pedagang yang masuk ke dalam negeri.” (semacam pajak impor, red.)
Al-Maks ini juga kadang diistilahkan dengan ‘dharibah’ atau ‘jamrak.’
Di antara yang menunjukkan bahwa perpajakan merupakan dosa yang sangat besar adalah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu, tentang kisah Ma’iz bin Malik Al-Aslami dan kisah wanita Al-Ghamidiyyah yang telah berbuat zina dan bertaubat, lalu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina maka sucikanlah aku.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya. Lalu ia datang keesokan harinya dan berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menolakku? Jangan sampai engkau menolakku sebagaimana engkau menolak Ma’iz. Demi Allah, sesungguhnya aku dalam keadaan hamil.” Maka beliau menjawab: “Tidak. Pergilah engkau sampai engkau melahirkan anakmu.” Ketika telah melahirkan, wanita ini pun datang membawa bayinya pada bungkusan kain, lalu berkata: “Ini anaknya. Aku telah melahirkannya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Pergilah dan susuilah dia hingga dia disapih.” Tatkala dia telah menyapihnya maka dia pun datang membawa anak tersebut dan di tangannya ada sepotong roti. Lalu berkata: “Ini wahai Nabi Allah, aku telah menyapihnya. Dia telah memakan makanan.” Maka anak tersebut diserahkan kepada seorang lelaki dari kaum muslimin. Lalu beliau memerintahkan (wanita tersebut) untuk ditanam hingga ke dadanya, dan memerintahkan manusia untuk merajamnya. Maka mereka pun merajam wanita tersebut. Datanglah Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu dengan membawa batu lalu melempar kepalanya hingga darahnya memercik ke wajah Khalid, spontan dia mencacinya. Mendengar cacian tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
“Perlahan wahai Khalid. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang kalau sekiranya taubat itu ada pada pemungut pajak, maka dia pasti diampuni.” Lalu beliau memerintahkan untuk menyalatinya dan dikuburkan. (HR. Muslim no. 1695)
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan ketika menjelaskan hadits ini: “Hadits ini menunjukkan bahwa memungut pajak merupakan kemaksiatan yang paling jelek dan dosa yang membinasakan. Karena hal tersebut akan menyebabkan banyaknya tuntutan manusia kepada dirinya, perbuatan zalimnya dan berulangnya hal tersebut, merusak kehormatan manusia, serta mengambil harta mereka dengan tanpa hak dan mengarahkannya bukan pada tempatnya.” (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 11/203)
Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya tentang hukum perpajakan, maka mereka menjawab:
“Memungut biaya/pajak terhadap barang-barang ekspor maupun impor termasuk mukus, dan mukus adalah haram. Seseorang bekerja (pada instansi yang bertugas demikian) adalah haram, meskipun pajak yang dihimpun nantinya digunakan pemerintah untuk membiayai berbagai proyek, seperti membangun sarana/prasarana negara. Berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memungut pajak dan sikap tegas beliau terhadapnya….”
Lalu mereka menyebutkan kedua hadits di atas dan melanjutkan:
“Adz-Dzahabi rahimahullahu menegaskan dalam kitabnya Al-Kaba’ir: ‘Pemungut pajak termasuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (Asy-Syura: 42)
Pemungut pajak termasuk pembantu terbesar orang-orang zalim, bahkan mereka sendiri termasuk orang-orang yang zalim. Karena dia mengambil apa yang bukan haknya dan memberi kepada yang bukan haknya. Beliau (Adz-Dzahabi) juga berdalil dengan hadits Buraidah dan hadits ‘Uqbah radhiyallahu ‘anhuma yang telah disebutkan. Beliau lalu berkata: ‘Pemungut pajak menyerupai penyamun jalanan dan termasuk dalam kategori pencurian. Yang mengambil pajak, penulisnya, saksinya, yang mengambilnya dari kalangan staf maupun atasan semuanya ikut serta dalam dosa, memakan harta yang haram.” Selesai ucapan Adz-Dzahabi rahimahullahu.
Hal itu termasuk memakan harta manusia dengan cara yang batil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan jangan kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Juga berdasarkan (hadits) yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda dalam khutbahnya di Mina pada hari ‘ied pada hajjatul wada’: “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti haramnya negeri kalian ini, pada bulan kalian ini.”
Maka seorang muslim hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan sumber penghasilan yang haram serta menempuh cara mendapatkan penghasilan yang halal, dan itu banyak, walhamdulillah. Barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencukupinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Wabillahit taufiq. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga selalu terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi

Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa Al-Lajnah, 23/489-492)
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar