Penulis : Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anahuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ فَقَدِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
“Barangsiapa mempelajari salah satu cabang ilmu nujum maka ia telah mempelajari salah satu cabang ilmu sihir. Semakin bertambah ilmu nujum yang dipelajarinya, semakin bertambah pula ilmu sihir yang dimilikinya.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata di dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2/435), “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3905), Ibnu Majah (3726), Ahmad (1/227, 311), dan Al-Harbi di dalam Al-Gharib (5/195/1), dari jalan Ubaidullah bin Al-Akhnas, dari Al-Walid bin Abdillah, dari Yusuf bin Mahik, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anahuma, secara marfu’. Menurut saya, hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Para perawi hadits ini seluruhnya tsiqat (terpercaya). Adapun Ubaidullah bin Al-Akhnas telah ditsiqahkan oleh Al-Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Hanya saja Ibnu Hibban menambahkan, ‘Banyak salahnya.’ Saya sendiri berpendapat, tambahan dari Ibnu Hibban ini jangan terlalu dianggap!”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (8/602).
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Hadits ini adalah hadits shahih. Para perawinya adalah perawi hadits shahih kecuali Al-Walid bin Abdillah, namun Yahya bin Ma’in telah mentsiqahkannya.” (Ash-Shahihul Musnad 1/536)
Hadits ini juga dishahihkan oleh Al-Imam An-Nawawi dan Adz-Dzahabi rahimahumallah.
Tentang Hadits Ini
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata di dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (2/435), “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3905), Ibnu Majah (3726), Ahmad (1/227, 311), dan Al-Harbi di dalam Al-Gharib (5/195/1), dari jalan Ubaidullah bin Al-Akhnas, dari Al-Walid bin Abdillah, dari Yusuf bin Mahik, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anahuma, secara marfu’. Menurut saya, hadits ini sanadnya jayyid (bagus). Para perawi hadits ini seluruhnya tsiqat (terpercaya). Adapun Ubaidullah bin Al-Akhnas telah ditsiqahkan oleh Al-Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Hanya saja Ibnu Hibban menambahkan, ‘Banyak salahnya.’ Saya sendiri berpendapat, tambahan dari Ibnu Hibban ini jangan terlalu dianggap!”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (8/602).
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Hadits ini adalah hadits shahih. Para perawinya adalah perawi hadits shahih kecuali Al-Walid bin Abdillah, namun Yahya bin Ma’in telah mentsiqahkannya.” (Ash-Shahihul Musnad 1/536)
Hadits ini juga dishahihkan oleh Al-Imam An-Nawawi dan Adz-Dzahabi rahimahumallah.
Tentang Hadits Ini
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “(Di dalam hadits ini) dengan jelas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa ilmu nujum termasuk sihir. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
‘Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang’ (Thaha: 69).
Memang demikianlah kenyataannya. Fakta menunjukkan bahwa ahli nujum tidak akan selamat dunia akhirat.” (Majmu’ Al-Fatawa)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan menjelaskan, “Artinya, setiap kali dia menambah pelajaran tentang ilmu nujum maka semakin bertambahlah dosanya karena ia mempelajari cabang-cabang ilmu sihir. Sesungguhnya keyakinan dia bahwa bintang dapat memengaruhi peristiwa alam adalah keyakinan batil sebagaimana ilmu sihir.” (Fathul Majid hal. 534)
Hikmah Diciptakannya Bintang-Gemintang
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan hikmah diciptakannya bintang-gemintang. Yaitu:
1. Sebagai petunjuk arah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَلْقَى فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ. وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 15-16)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Al-An'am: 97)
2. Bintang juga diciptakan untuk hiasan langit, sekaligus alat pelempar setan yang berusaha mencuri berita langit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
2. Bintang juga diciptakan untuk hiasan langit, sekaligus alat pelempar setan yang berusaha mencuri berita langit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang.” (Ash-Shaffat: 6)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan, serta Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 5)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan sebuah atsar dari Al-Imam Qatadah rahimahullahu secara ta’liq di dalam Shahih-nya. Al-Imam Qatadah mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-gemintang hanya untuk tiga tujuan. Sebagai hiasan yang memperindah langit, lemparan yang membakar setan (bagi yang berusaha mencuri berita langit), dan sebagai tanda penunjuk arah. Barangsiapa menambah dengan selain tiga hal (fungsi) ini maka dia telah salah langkah, menyia-nyiakan bagiannya, dan memaksakan diri untuk mengetahui sesuatu yang tidak ia miliki ilmunya.”
Pembagian Ilmu Nujum
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan sebuah atsar dari Al-Imam Qatadah rahimahullahu secara ta’liq di dalam Shahih-nya. Al-Imam Qatadah mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-gemintang hanya untuk tiga tujuan. Sebagai hiasan yang memperindah langit, lemparan yang membakar setan (bagi yang berusaha mencuri berita langit), dan sebagai tanda penunjuk arah. Barangsiapa menambah dengan selain tiga hal (fungsi) ini maka dia telah salah langkah, menyia-nyiakan bagiannya, dan memaksakan diri untuk mengetahui sesuatu yang tidak ia miliki ilmunya.”
Pembagian Ilmu Nujum
Ilmu nujum ada dua macam. Pertama adalah Ilmu At-Ta’tsir, yang terbagi menjadi tiga bagian:
1) Meyakini bintang sebagai pencipta kejadian, kebaikan dan keburukan. Keyakinan semacam ini termasuk syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena dia meyakini adanya pencipta selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2) Menjadikan bintang sebagai alat untuk menerka ilmu ghaib seperti menentukan nasib seseorang, rezeki, dan jodohnya. Keyakinan semacam ini termasuk kekufuran, karena dia menganggap dirinya mengetahui hal ghaib. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (An-Naml: 65)
3) Meyakini bintang sebagai sebab. Artinya dia menisbatkan (menyandarkan) kebaikan atau keburukan yang telah terjadi pada gerakan bintang. Keyakinan semacam ini termasuk syirik asghar.
Jenis ilmu nujum inilah yang dimaksud oleh salafus shalih di dalam larangan mereka.
Diriwayatkan dari Thawus, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anahuma, beliau mengomentari orang-orang yang menulis huruf abjad dan mempelajari ilmu nujum, beliau berkata, “Menurutku orang-orang yang mempraktikkan hal itu tidak akan memperoleh bagian apa-apa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1020)
Maimun bin Mihran berkata, “Ada tiga hal yang harus kalian jauhi. Janganlah kalian mendebat pengingkar taqdir, janganlah membicarakan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya kebaikan mereka, dan janganlah kalian mempelajari ilmu nujum.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1021)
Adapun jenis kedua dalam ilmu nujum adalah Ilmu At-Tasyir. Ilmu ini terbagi menjadi dua:
1) Mempelajari peredaran bintang untuk maslahat agama, seperti menentukan arah kiblat ketika shalat. Ilmu semacam ini boleh dipelajari bahkan terkadang harus dipelajari. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa bintang-bintang merupakan petunjuk untuk mengetahui waktu dan arah jalan. Kalau seandainya bintang-bintang itu tidak ada tentu orang yang berada jauh dari Ka’bah tidak dapat mengetahui arah kiblat.
2) Mempelajari peredarannya untuk maslahat kehidupan dunia, misalnya dalam menentukan arah. Contohnya rasi bintang gubuk penceng yang berbentuk palang, maka bintang di ujung palang senantiasa menunjukkan arah selatan. Atau rasi bintang biduk yang berbentuk sendok, dua bintang di ujung selalu menunjukkan arah utara. Ilmu semacam ini boleh dipelajari untuk kemaslahatan kehidupan manusia. (Al-Qaulul Mufid, hal. 585-586)
Jenis ilmu nujum kedua inilah yang diperbolehkan oleh Salafus Shalih untuk dipelajari. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu bahwa beliau berkata, “Pelajarilah ilmu falak sekadar untuk mengetahui arah kiblat dan arah jalan. Tahanlah dirimu dari perkara selain itu.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1016)
Ibrahim An-Nakha’i rahimahullahu berkata, “Tidak mengapa engkau mempelajari ilmu nujum hanya untuk sekadar mengetahui arah.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1017)
Abu Ishaq Al-Harbi rahimahullahu berkata, “Ilmu itu ada tiga macam. Ilmu duniawi ukhrawi, ilmu duniawi, dan ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi. Adapun ilmu duniawi ukhrawi adalah ilmu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan fiqih keduanya. Ilmu duniawi adalah ilmu kesehatan dan ilmu nujum. Sementara ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi adalah ilmu syair dan menggelutinya.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi 1018)
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu berkata dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (2/38), “Sebagian ahli ilmu mengingkari beberapa hal yang kami sebutkan tadi (ilmu nujum). Menurut mereka, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui perkara ghaib dengan ilmu nujum. Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya dengan benar kecuali para nabi yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala beri keistimewaan dengan ilmu tentang perkara-perkara yang tidak dapat diketahui.”
Mereka berkata: ‘Tidak ada seorang pun sekarang ini yang berani mengaku mengetahui perkara ghaib kecuali orang jahil, kurang akal, pendusta, dan mengada-ada. Anggapan mereka bahwa tidak mungkin mengungkapkan perkaranya kecuali mayoritas waktu sudah cukup membuktikan kebohongan seluruh perkara yang katanya mereka ketahui itu. Orang meramal dengan ilmu nujum sama seperti orang yang meramal ‘iyafah dan zajr1. Sama dengan orang yang meramal dengan membaca garis-garis tangan dan tulang hewan. Sama dengan orang yang melakukan pengobatan dengan cara hipnotis, berkhidmat dengan jin, dan perkara-perkara sejenisnya yang tidak dapat diterima akal sehat serta tidak berdasarkan keterangan yang nyata. Semua perkara tersebut tidak ada yang benar. Sebab, banyak sekali kesalahan dari hal-hal yang mereka ketahui tersebut. Disamping itu, dasarnya juga rusak. Sedikit dari banyak hal yang tidak mereka ketahui merupakan bukti nyata kebohongan seluruh ramalan dan perkiraan mereka itu. Tidak ada kebenaran mutlak melainkan kebenaran yang dibawa oleh para nabi.”
Perlu diketahui bahwa penggunaan istilah ilmu nujum di dalam bahasa Indonesia seringkali diartikan sebagai ilmu nujum jenis pertama. Yaitu jenis ilmu nujum yang dilarang di dalam syariat Islam.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan Ilmu Nujum
3) Meyakini bintang sebagai sebab. Artinya dia menisbatkan (menyandarkan) kebaikan atau keburukan yang telah terjadi pada gerakan bintang. Keyakinan semacam ini termasuk syirik asghar.
Jenis ilmu nujum inilah yang dimaksud oleh salafus shalih di dalam larangan mereka.
Diriwayatkan dari Thawus, dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anahuma, beliau mengomentari orang-orang yang menulis huruf abjad dan mempelajari ilmu nujum, beliau berkata, “Menurutku orang-orang yang mempraktikkan hal itu tidak akan memperoleh bagian apa-apa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1020)
Maimun bin Mihran berkata, “Ada tiga hal yang harus kalian jauhi. Janganlah kalian mendebat pengingkar taqdir, janganlah membicarakan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya kebaikan mereka, dan janganlah kalian mempelajari ilmu nujum.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1021)
Adapun jenis kedua dalam ilmu nujum adalah Ilmu At-Tasyir. Ilmu ini terbagi menjadi dua:
1) Mempelajari peredaran bintang untuk maslahat agama, seperti menentukan arah kiblat ketika shalat. Ilmu semacam ini boleh dipelajari bahkan terkadang harus dipelajari. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa bintang-bintang merupakan petunjuk untuk mengetahui waktu dan arah jalan. Kalau seandainya bintang-bintang itu tidak ada tentu orang yang berada jauh dari Ka’bah tidak dapat mengetahui arah kiblat.
2) Mempelajari peredarannya untuk maslahat kehidupan dunia, misalnya dalam menentukan arah. Contohnya rasi bintang gubuk penceng yang berbentuk palang, maka bintang di ujung palang senantiasa menunjukkan arah selatan. Atau rasi bintang biduk yang berbentuk sendok, dua bintang di ujung selalu menunjukkan arah utara. Ilmu semacam ini boleh dipelajari untuk kemaslahatan kehidupan manusia. (Al-Qaulul Mufid, hal. 585-586)
Jenis ilmu nujum kedua inilah yang diperbolehkan oleh Salafus Shalih untuk dipelajari. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu bahwa beliau berkata, “Pelajarilah ilmu falak sekadar untuk mengetahui arah kiblat dan arah jalan. Tahanlah dirimu dari perkara selain itu.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1016)
Ibrahim An-Nakha’i rahimahullahu berkata, “Tidak mengapa engkau mempelajari ilmu nujum hanya untuk sekadar mengetahui arah.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi, 1017)
Abu Ishaq Al-Harbi rahimahullahu berkata, “Ilmu itu ada tiga macam. Ilmu duniawi ukhrawi, ilmu duniawi, dan ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi. Adapun ilmu duniawi ukhrawi adalah ilmu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan fiqih keduanya. Ilmu duniawi adalah ilmu kesehatan dan ilmu nujum. Sementara ilmu bukan duniawi bukan juga ukhrawi adalah ilmu syair dan menggelutinya.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi 1018)
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullahu berkata dalam kitab Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (2/38), “Sebagian ahli ilmu mengingkari beberapa hal yang kami sebutkan tadi (ilmu nujum). Menurut mereka, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui perkara ghaib dengan ilmu nujum. Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya dengan benar kecuali para nabi yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala beri keistimewaan dengan ilmu tentang perkara-perkara yang tidak dapat diketahui.”
Mereka berkata: ‘Tidak ada seorang pun sekarang ini yang berani mengaku mengetahui perkara ghaib kecuali orang jahil, kurang akal, pendusta, dan mengada-ada. Anggapan mereka bahwa tidak mungkin mengungkapkan perkaranya kecuali mayoritas waktu sudah cukup membuktikan kebohongan seluruh perkara yang katanya mereka ketahui itu. Orang meramal dengan ilmu nujum sama seperti orang yang meramal ‘iyafah dan zajr1. Sama dengan orang yang meramal dengan membaca garis-garis tangan dan tulang hewan. Sama dengan orang yang melakukan pengobatan dengan cara hipnotis, berkhidmat dengan jin, dan perkara-perkara sejenisnya yang tidak dapat diterima akal sehat serta tidak berdasarkan keterangan yang nyata. Semua perkara tersebut tidak ada yang benar. Sebab, banyak sekali kesalahan dari hal-hal yang mereka ketahui tersebut. Disamping itu, dasarnya juga rusak. Sedikit dari banyak hal yang tidak mereka ketahui merupakan bukti nyata kebohongan seluruh ramalan dan perkiraan mereka itu. Tidak ada kebenaran mutlak melainkan kebenaran yang dibawa oleh para nabi.”
Perlu diketahui bahwa penggunaan istilah ilmu nujum di dalam bahasa Indonesia seringkali diartikan sebagai ilmu nujum jenis pertama. Yaitu jenis ilmu nujum yang dilarang di dalam syariat Islam.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan Ilmu Nujum
Sebagian kalangan menisbahkan kedustaan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu tentang ilmu nujum. Mereka meyakini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mampu memastikan usia bayi yang baru dilahirkan hanya dengan memerhatikan keadaan bulan pada hari itu. Dengan berpegang dengan tiga riwayat lemah bahkan palsu, mereka dengan lancang menyatakan bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu pun menguasai ilmu nujum.
Di antara yang disebutkan adalah sebuah riwayat yang dibawakan oleh Al-Hakim dari Muhammad, cucu Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu. Ia bercerita: Al-Imam Asy-Syafi’i di masa mudanya senang mempelajari ilmu nujum. Padahal Al-Imam Asy-Syafi’i jika mempelajari satu cabang ilmu pasti akan menjadi yang terbaik. Suatu hari beliau sedang duduk dan ada seorang wanita yang akan melahirkan. Setelah menghitung pergerakan bintang, Al-Imam Syafi’i berkata, “Dia akan melahirkan bayi perempuan yang matanya buta sebelah dan di kemaluannya ada tahi lalat berwarna hitam. Bayi ini akan berumur hanya sampai sekian hari.” Ternyata wanita itu melahirkan bayi dengan ciri-ciri yang telah disebutkan Al-Imam Asy-Syafi’i dan beberapa lama kemudian bayi itu meninggal. Tepat seperti yang disebutkan Al-Imam Asy-Syafi’i. Kemudian, Al-Imam Asy-Syafi’i bertekad tidak akan menggunakan ilmu nujum untuk selamanya.
Riwayat ini adalah satu dari tiga riwayat yang dinisbahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i. Perlu diketahui bahwa cucu Al-Imam Asy-Syafi’i yang bernama Muhammad tidak pernah sekali pun bertemu dengan Al-Imam Asy-Syafi’i. Sebagaimana dijelaskan secara panjang lebar oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu di dalam Miftah Dar As-Sa’adah (3/250).
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengomentari riwayat-riwayat di atas dengan menyatakan, “Kami akan menjelaskan tentang cerita-cerita di atas disertai dengan keadaan sanadnya. Sehingga akan menjadi jelas bahwa penisbatan itu adalah sebuah kedustaan atas nama Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu.”
Yang benar dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah sebuah riwayat dari Ar-Rabi’ bin Sulaiman, murid senior beliau, tentang penafsiran ayat:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Al-An'am: 97)
Dan ayat:
Dan ayat:
وَأَلْقَى فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ(15)وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk. Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penujuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 15-16)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menjelaskan, “Tanda-tanda itu adalah gunung-gunung yang mereka ketahui letak posisinya. Demikian juga matahari, bulan, dan bintang, dengan arah peredarannya. Serta jenis angin yang ciri-cirinya mereka ketahui untuk menunjukkan arah Baitullah Al-Haram.”
Tabir yang Harus Dikuak
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menjelaskan, “Tanda-tanda itu adalah gunung-gunung yang mereka ketahui letak posisinya. Demikian juga matahari, bulan, dan bintang, dengan arah peredarannya. Serta jenis angin yang ciri-cirinya mereka ketahui untuk menunjukkan arah Baitullah Al-Haram.”
Tabir yang Harus Dikuak
Alasan paling kuat yang digunakan untuk membenarkan ilmu nujum adalah pernyataan mereka, “Kami telah mencoba dan meneliti pada beberapa anak yang diramalkan kehidupannya, ternyata kami menemukan kebenaran ramalan itu.”
Maka jawabannya, “Kalau seandainya yang kalian sampaikan cukup sebagai bukti kebenaran pendapat kalian, maka apakah bedanya antara pernyataan kalian dengan pernyataan orang lain, ‘Bukti kesalahan pernyataan kalian adalah percobaan dan penelitian kami pada beberapa anak yang diramalkan kehidupannya, ternyata ramalan itu tidak benar bahkan meleset seluruhnya’.” (Miftah Dar As-Sa’adah, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu, 3/165 )
Alasan mereka yang lain adalah ilmu nujum pun dipelajari oleh Nabi Ibrahim q. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَنَظَرَ نَظْرَةً فِي النُّجُومِ. فَقَالَ إِنِّي سَقِيمٌ
Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit.” (Ash-Shaffat: 88-89)
Maka jawabannya, “Hal ini adalah sebuah kedustaan atas nama Nabi Ibrahim q. Dalam ayat di atas, Nabi Ibrahim q tidak menghubungkan sakit beliau dengan keadaan bintang. Ayat di atas hanyalah menjelaskan Nabi Ibrahim q ketika itu memandang bintang, setelah itu beliau menyatakan, ‘Saya sakit.’ Beliau melakukannya guna menyelamatkan diri dari kezaliman kaumnya. Lebih dari itu, tidak ada seorang pun yang butuh untuk memerhatikan bintang untuk mengetahui apakah dirinya sehat atau sakit. Karena sakit dapat dirasakan dan pasti diketahui oleh dirinya sendiri.” (Miftah Dar As-Sa’adah, Al-Imam Ibnul Qayyim, 3/166)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu telah mengupas secara panjang lebar tentang kebatilan ilmu nujum. Beliau mematahkan pelbagai dalih ahli nujum pada bagian terakhir dalam kitabnya yang berjudul Miftah Daris Sa’adah. Ulasan beliau itu sangat baik dan sangat bermanfaat.
Bahaya Ilmu Nujum Di Sekitar Kita
Maka jawabannya, “Hal ini adalah sebuah kedustaan atas nama Nabi Ibrahim q. Dalam ayat di atas, Nabi Ibrahim q tidak menghubungkan sakit beliau dengan keadaan bintang. Ayat di atas hanyalah menjelaskan Nabi Ibrahim q ketika itu memandang bintang, setelah itu beliau menyatakan, ‘Saya sakit.’ Beliau melakukannya guna menyelamatkan diri dari kezaliman kaumnya. Lebih dari itu, tidak ada seorang pun yang butuh untuk memerhatikan bintang untuk mengetahui apakah dirinya sehat atau sakit. Karena sakit dapat dirasakan dan pasti diketahui oleh dirinya sendiri.” (Miftah Dar As-Sa’adah, Al-Imam Ibnul Qayyim, 3/166)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu telah mengupas secara panjang lebar tentang kebatilan ilmu nujum. Beliau mematahkan pelbagai dalih ahli nujum pada bagian terakhir dalam kitabnya yang berjudul Miftah Daris Sa’adah. Ulasan beliau itu sangat baik dan sangat bermanfaat.
Bahaya Ilmu Nujum Di Sekitar Kita
Melalui pembahasan ini maka kita dapat memberikan kesimpulan bahwa ilmu astrologi, horoskop, zodiak, ataupun shio, adalah ilmu yang dilarang secara syariat Islam. Astrologi adalah ilmu yang menghubungkan antara gerakan benda-benda tata surya (planet, bulan, dan matahari) dengan nasib manusia.
Dalam astrologi, horoskop adalah sebuah bagan atau diagram yang menggambarkan posisi matahari, bulan, planet-planet, aspek-aspek astrologis, dan sudut-sudut sensitif pada saat kelahiran seorang anak. Kata horoskop berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengamati waktu. Kata horoskop digunakan sebagai metode ramalan mengenai peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan waktu-waktu tertentu yang digambarkan dalam dasar-dasar astrologis.
Dalam penggunaan sehari-hari, horoskop seringkali dihubungkan dengan penafsiran ahli astrologi yang biasanya dilakukan melalui sistem lambang-lambang astrologi. Dalam berbagai majalah dan surat kabar, kita dapat menemukan kolom atau artikel yang memuat ramalan-ramalan yang didasarkan pada posisi matahari dalam kaitannya dengan hari kelahiran seseorang.
Horoskop dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengamatan posisi bintang-bintang pada waktu tertentu, seperti pada hari lahir seseorang dengan tujuan meramalkan masa depannya. Sebagai contoh zodiak horoskop adalah Capricornus (Kambing Laut). Bintang ini diberikan kepada orang yang dilahirkan antara 21 Januari sampai dengan 16 Februari. Demikian juga bintang Scorpius (Kalajengking) yang diberikan kepada orang dengan tanggal kelahiran antara 23 November sampai dengan 18 Desember.
Shio adalah zodiak Tionghoa yang memakai hewan-hewan untuk melambangkan tahun, bulan, dan waktu dalam astrologi Tionghoa. Setiap individu diasosiasikan dengan satu shio sesuai dengan tanggal kelahirannya. Sebagai contoh adalah shio Kerbau. Orang dengan shio kerbau diyakini memiliki sifat cenderung keras kepala, pekerja keras, jujur, dan agak pemarah.
Khatimah
Setelah dipaparkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dilengkapi keterangan ulama maka tidaklah pantas seorang muslim mempelajari atau meyakini kebenaran ilmu astrologi, horoskop, zodiak, ataupun shio. Ingatlah selalu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ciri orang beriman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (An-Nur: 51)
Apa yang mereka sebutkan tentang ilmu-ilmu tersebut hanyalah kedustaan yang dibangun di atas kedustaan pula. Supaya kaum muslimin jauh dari sikap tawakkal dan tsiqah (percaya penuh) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk meruntuhkan tauhid sebagai fondasi ibadah seorang hamba.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu pernah berdialog dengan sekelompok ahli nujum di Damaskus. Beliau menjelaskan kerusakan perbuatan mereka dengan dalil-dalil ‘aqli yang kebenarannya diakui oleh mereka sendiri. Salah satu pemuka ahli nujum di antara mereka berkata kepada Syaikhul Islam, “Demi Allah, sesungguhnya kami membuat seratus kedustaan dengan harapan ada kebenaran pada salah satunya.” (Al-Fatawa Al-Kubra)
Wallahu a’lam.
1 ‘Iyafah dan zajr adalah meramal nasib baik atau nasib buruk dengan menerbangkan burung. Bila burung terbang ke kanan maka baik, jika ke kiri maka buruk.
Apa yang mereka sebutkan tentang ilmu-ilmu tersebut hanyalah kedustaan yang dibangun di atas kedustaan pula. Supaya kaum muslimin jauh dari sikap tawakkal dan tsiqah (percaya penuh) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk meruntuhkan tauhid sebagai fondasi ibadah seorang hamba.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu pernah berdialog dengan sekelompok ahli nujum di Damaskus. Beliau menjelaskan kerusakan perbuatan mereka dengan dalil-dalil ‘aqli yang kebenarannya diakui oleh mereka sendiri. Salah satu pemuka ahli nujum di antara mereka berkata kepada Syaikhul Islam, “Demi Allah, sesungguhnya kami membuat seratus kedustaan dengan harapan ada kebenaran pada salah satunya.” (Al-Fatawa Al-Kubra)
Wallahu a’lam.
1 ‘Iyafah dan zajr adalah meramal nasib baik atau nasib buruk dengan menerbangkan burung. Bila burung terbang ke kanan maka baik, jika ke kiri maka buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar