Penulis : Al-Ustadz Abul 'Abbas Muhammad Ihsan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menyebutkan keutamaan ilmu dan ahlul ilmi dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu syar’i.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Kitabul ‘Ilmi, hal. 13): “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa bayyinah (penjelas) dan huda (petunjuk). Maka, ilmu yang mengandung pujian dan keutamaan adalah ilmu wahyu, ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Kitabul ‘Ilmi, hal. 13): “Yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa bayyinah (penjelas) dan huda (petunjuk). Maka, ilmu yang mengandung pujian dan keutamaan adalah ilmu wahyu, ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki kebaikan baginya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menfaqihkan (menjadikan dia paham) akan agama.” (Muttafaqun ‘alaih dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)
وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sungguh para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu tersebut) berarti dia telah mengambil bagian ilmu yang banyak.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6298 dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/434): “Tidaklah mewarisi dari para nabi kecuali para ulama. Maka merekalah pewaris para nabi. Merekalah yang mewarisi, ilmu, amal dan tugas membimbing umat kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Oleh karena itu, termasuk perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami adalah manzilah (kedudukan) ahlul ilmi yang mulia di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga kita bisa beradab terhadap mereka, menghargai mereka dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Itulah tanda barakahnya ilmu dan rasa syukur kita dengan masih banyaknya para ulama di zaman ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/434): “Tidaklah mewarisi dari para nabi kecuali para ulama. Maka merekalah pewaris para nabi. Merekalah yang mewarisi, ilmu, amal dan tugas membimbing umat kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Oleh karena itu, termasuk perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami adalah manzilah (kedudukan) ahlul ilmi yang mulia di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga kita bisa beradab terhadap mereka, menghargai mereka dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Itulah tanda barakahnya ilmu dan rasa syukur kita dengan masih banyaknya para ulama di zaman ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidaklah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad (2/338) berkata: Ini adalah hadits shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan juga oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 416, dari Al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu)
Di antara keutamaan ahlul ilmi adalah sebagaimana berikut:
1. Ahlul ilmi adalah orang yang berkedudukan tinggi di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Di antara keutamaan ahlul ilmi adalah sebagaimana berikut:
1. Ahlul ilmi adalah orang yang berkedudukan tinggi di dunia dan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابَ قَوْمًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Dia (Allah) akan meninggikan derajat suatu kaum dengan kitab ini, dan akan menghinakan dengannya pula kaum yang lain.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat ahlul ilmi dan ahlul iman beberapa derajat, sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan kepada mereka (berupa ilmu dan iman).”
2. Ahlul ilmi adalah ahlul khasyyah (orang-orang yang takut) dan ahlut taqwa (orang yang bertakwa).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat ahlul ilmi dan ahlul iman beberapa derajat, sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan kepada mereka (berupa ilmu dan iman).”
2. Ahlul ilmi adalah ahlul khasyyah (orang-orang yang takut) dan ahlut taqwa (orang yang bertakwa).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهِ، إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertakwa kepada-Nya. Namun aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan aku tidur, dan akupun menikahi para wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Setiap orang yang lebih berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, dialah orang yang lebih banyak takut kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut mengharuskan dia menahan diri dari kemaksiatan dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Dan ayat ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ilmu itulah yang mendorong untuk takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Hanya saja yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rasa takut yang sebenarnya, adalah para ulama yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, tatkala semakin sempurna ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Memiliki sifat-sifat yang sempurna dan nama-nama yang berada pada puncak kebaikan, maka rasa takut kepada-Nya pun semakin besar dan sempurna. Ahmad bin Shalih Al-Mishri meriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari Malik rahimahullahu, dia berkata: ‘Sesungguhnya ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja ilmu itu adalah nur (cahaya) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala masukkan ke dalam hati.’ Ahmad bin Shalih berkata: ‘Maknanya, khasyah (rasa takut) itu tidak didapatkan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja (yang menyebabkan khasyah) adalah ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk diikuti, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah, serta apa yang datang dari para sahabat g, serta para imam kaum muslimin dari generasi setelah mereka. Maka hal ini tidak didapatkan kecuali dengan riwayat. Sehingga makna pernyataan Al-Imam Malik bahwa ilmu itu adalah nur (cahaya), maksudnya adalah pemahaman terhadap ilmu tersebut dan pengetahuan tentang makna-maknanya.”
3. Ahlul ilmi adalah orang yang paling peduli terhadap umat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Setiap orang yang lebih berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, dialah orang yang lebih banyak takut kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut mengharuskan dia menahan diri dari kemaksiatan dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Dzat yang dia takuti. Dan ayat ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ilmu itulah yang mendorong untuk takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Hanya saja yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rasa takut yang sebenarnya, adalah para ulama yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, tatkala semakin sempurna ma’rifah (pengenalan) terhadap Dzat Yang Maha Agung, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Memiliki sifat-sifat yang sempurna dan nama-nama yang berada pada puncak kebaikan, maka rasa takut kepada-Nya pun semakin besar dan sempurna. Ahmad bin Shalih Al-Mishri meriwayatkan dari Ibnu Wahb, dari Malik rahimahullahu, dia berkata: ‘Sesungguhnya ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja ilmu itu adalah nur (cahaya) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala masukkan ke dalam hati.’ Ahmad bin Shalih berkata: ‘Maknanya, khasyah (rasa takut) itu tidak didapatkan dengan banyaknya riwayat. Hanya saja (yang menyebabkan khasyah) adalah ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk diikuti, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah, serta apa yang datang dari para sahabat g, serta para imam kaum muslimin dari generasi setelah mereka. Maka hal ini tidak didapatkan kecuali dengan riwayat. Sehingga makna pernyataan Al-Imam Malik bahwa ilmu itu adalah nur (cahaya), maksudnya adalah pemahaman terhadap ilmu tersebut dan pengetahuan tentang makna-maknanya.”
3. Ahlul ilmi adalah orang yang paling peduli terhadap umat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَاذِبُ وَالْفِرَاشُ يَقَعْنَ فِيْهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا، وَأَنَا آخُذُ بِحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ وَأَنْتُمْ تُفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي
“Permisalanku dan permisalan kalian adalah seperti seseorang yang menyalakan api, kemudian mulailah serangga kecil dan kupu-kupu menjatuhkan diri kepada api tersebut. Padahal orang itu senantiasa menghalau hewan-hewan itu darinya. Akupun menahan pinggang kalian dari api neraka dalam keadaan kalian berusaha melepaskan diri dari kedua tanganku.” (HR. Muslim)
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullahu berkata (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits, hal. 168): “Para ulama itu lebih belas kasihan terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.” Ditanyakan kepadanya: “Bagaimana demikian?” Dia menjawab: “Bapak-bapak dan ibu-ibu mereka menjaga mereka dari api di dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api di akhirat.”
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Kalau tidak ada para ulama, sungguh umat manusia akan menjadi seperti binatang.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata dalam kitabnya Ar-Radd ‘ala Zanadiqah wal Jahmiyyah: “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan pada setiap masa yang kosong dari para rasul, segolongan ahlul ilmi yang masih tersisa. Mengajak orang yang tersesat kepada petunjuk, dalam keadaan sabar terhadap gangguan mereka. berusaha menghidupkan orang-orang yang mati1 dan menjadikan orang-orang yang buta (hatinya) bisa melihat kebenaran dengan nur dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak orang yang telah dibinasakan oleh Iblis (dengan syubhat dan syahwat), namun sungguh mereka berhasil menghidupkannya (dengan Al-Kitab dan As-Sunnah). Betapa banyak orang yang tersesat, mereka beri petunjuk. Duhai, alangkah bagusnya kepedulian ulama terhadap umat. Namun, alangkah jeleknya sikap mereka terhadap ahlul ilmi.”
4. Asingnya ahlul ilmi di kalangan umat merupakan alamat kebinasaan umat.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullahu berkata (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits, hal. 168): “Para ulama itu lebih belas kasihan terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.” Ditanyakan kepadanya: “Bagaimana demikian?” Dia menjawab: “Bapak-bapak dan ibu-ibu mereka menjaga mereka dari api di dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api di akhirat.”
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Kalau tidak ada para ulama, sungguh umat manusia akan menjadi seperti binatang.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata dalam kitabnya Ar-Radd ‘ala Zanadiqah wal Jahmiyyah: “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan pada setiap masa yang kosong dari para rasul, segolongan ahlul ilmi yang masih tersisa. Mengajak orang yang tersesat kepada petunjuk, dalam keadaan sabar terhadap gangguan mereka. berusaha menghidupkan orang-orang yang mati1 dan menjadikan orang-orang yang buta (hatinya) bisa melihat kebenaran dengan nur dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa banyak orang yang telah dibinasakan oleh Iblis (dengan syubhat dan syahwat), namun sungguh mereka berhasil menghidupkannya (dengan Al-Kitab dan As-Sunnah). Betapa banyak orang yang tersesat, mereka beri petunjuk. Duhai, alangkah bagusnya kepedulian ulama terhadap umat. Namun, alangkah jeleknya sikap mereka terhadap ahlul ilmi.”
4. Asingnya ahlul ilmi di kalangan umat merupakan alamat kebinasaan umat.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءَ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari umat manusia dengan sekali cabut. Akan tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga bila Dia tidak menyisakan seorang alim pun (sampai) umat manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Maka mereka (para pemimpin itu) ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/438): “Tatkala hal tersebut terjadi, Islam hakiki yang terbangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah tidak akan didapatkan, karena para ahlinya sungguh telah diwafatkan.”
5. Ahlul ilmi adalah ahlul bashirah (orang yang memiliki ilmu yang mantap), sehingga mampu mengetahui akan terjadinya fitnah di awal mula munculnya fitnah.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam Tahdzirul Basyar (hal. 29-30): “Ketahuilah, orang yang paling mampu mengetahui kejelekan dari awal munculnya adalah para pewaris nabi, yakni para ulama yang beramal dengan dua wahyu (Al-Kitab dan As-Sunnah), dan benar-benar paham terhadap keduanya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang perbuatan Qarun yang melampaui batas dan umat pada masa itu terfitnah dengannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan pula bagaimana sikap ahlul ilmi terhadap hal itu.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/438): “Tatkala hal tersebut terjadi, Islam hakiki yang terbangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah tidak akan didapatkan, karena para ahlinya sungguh telah diwafatkan.”
5. Ahlul ilmi adalah ahlul bashirah (orang yang memiliki ilmu yang mantap), sehingga mampu mengetahui akan terjadinya fitnah di awal mula munculnya fitnah.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam Tahdzirul Basyar (hal. 29-30): “Ketahuilah, orang yang paling mampu mengetahui kejelekan dari awal munculnya adalah para pewaris nabi, yakni para ulama yang beramal dengan dua wahyu (Al-Kitab dan As-Sunnah), dan benar-benar paham terhadap keduanya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang perbuatan Qarun yang melampaui batas dan umat pada masa itu terfitnah dengannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan pula bagaimana sikap ahlul ilmi terhadap hal itu.
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’.” (Al-Qashash: 79)
Ini adalah sikap kebanyakan orang, yaitu berangan-angan memiliki harta yang banyak seperti Qarun. Adapun sikap ahlul ilmi, Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan:
Ini adalah sikap kebanyakan orang, yaitu berangan-angan memiliki harta yang banyak seperti Qarun. Adapun sikap ahlul ilmi, Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan:
وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللهِ خَيْرٌ لِمَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ الصَّابِرُونَ
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: ‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar’.” (Al-Qashash: 80)
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala benamkan Qarun berikut hartanya ke dalam bumi, barulah berubah sikap mayoritas umat tersebut.
Oleh karena itu, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Apabila fitnah itu baru muncul, para ulama mengetahuinya. Ketika fitnah itu telah berlalu, barulah umat menyadarinya.”
Sesungguhnya umat bisa mengetahui fitnah di awal munculnya, apabila mereka kembali (bertanya) kepada para ulama, bukan bertanya kepada orang menyerupai mereka. Perhatikanlah sikap para tabi’in ketika muncul fitnah Qadariyyah. Mereka bertanya kepada para sahabat g yang masih hidup pada masa itu, seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan lainnya.
6. Ahlul ilmi adalah rujukan umat dan pembimbing mereka ke jalan yang benar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala benamkan Qarun berikut hartanya ke dalam bumi, barulah berubah sikap mayoritas umat tersebut.
Oleh karena itu, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Apabila fitnah itu baru muncul, para ulama mengetahuinya. Ketika fitnah itu telah berlalu, barulah umat menyadarinya.”
Sesungguhnya umat bisa mengetahui fitnah di awal munculnya, apabila mereka kembali (bertanya) kepada para ulama, bukan bertanya kepada orang menyerupai mereka. Perhatikanlah sikap para tabi’in ketika muncul fitnah Qadariyyah. Mereka bertanya kepada para sahabat g yang masih hidup pada masa itu, seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan lainnya.
6. Ahlul ilmi adalah rujukan umat dan pembimbing mereka ke jalan yang benar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya’: 7)
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa`: 83)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya:
“Ini adalah pelajaran adab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya tentang sikap dan perbuatan mereka yang tidak pantas. Seharusnya, apabila datang kepada mereka berita penting yang terkait dengan kepentingan umat, seperti berita keamanan dan hal-hal yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau berita yang mengkhawatirkan/ menakutkan, yang di dalamnya ada musibah yang menimpa sebagian mereka, hendaknya mereka memperjelas terlebih dahulu akan kebenarannya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (semasa beliau masih hidup) dan kepada ulil amri, yaitu orang yang ahli berpendapat, ahli nasihat, yang berakal (para ulama). Mereka adalah orang-orang yang paham terhadap berbagai permasalahan dan memahami sisi-sisi kebaikannya bagi umat, sekaligus mengetahui hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.
Apabila mereka melihat sisi kebaikan, motivasi yang baik bagi orang-orang yang beriman dan menggembirakan mereka bila berita tersebut disebarkan, atau akan menumbuhkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, tentu mereka akan menyebarkannya (atau memerintahkan untuk menyebarkan).
Apabila mereka melihat (disebarkannya berita tersebut) tidak mengandung kebaikan, atau dampak negatifnya lebih besar, maka mereka tidak akan menyebarkannya.”
Karena demikian agung dan mulianya kedudukan ahlul ilmi –yaitu para ulama– menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, sudah semestinya umat menghormati dan memuliakan mereka. Juga kembali kepada mereka dalam menghadapi berbagai problematika, mempelajari agama ini dengan bimbingan mereka, khususnya di masa yang penuh dengan fitnah ini. Tidak ada jalan yang selamat kecuali kita merujuk kepada ahlul ilmi.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam At-Tanbihul Hasan (hal. 33): “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menghadang dakwah ke arah bid’ah dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Mereka adalah orang-orang yang selalu menyampaikan kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang mana generasi salafush shalih berjalan di atasnya. Adapun orang yang tidak mau merujuk kepada mereka, maka:
1. Mungkin dia adalah orang yang mengatakan bahwa semuanya itu baik. Maksudnya, Ahlus Sunnah, ahlul bid’ah, hizbiyyun (orang yang fanatik terhadap golongannya) adalah sama. Sehingga, hakikatnya dia menyamakan antara yang haq dengan yang batil.
2. Atau mungkin dia adalah orang yang berusaha menggiring umat kepada salah satu kelompok bid’ah atau hizbiyyah. Sekaligus berusaha memerangi dakwah yang haq. Dia berjalan dalam perkara tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh induknya.2
Adapun orang yang kembali kepada ahlul ilmi, para ulama ahlul hadits, maka dia akan selamat dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, insya Allah.
Wallahu a’lam.
1 Yakni mati hatinya, disebabkan terjatuh dalam kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan. -pen
2 Seperti Sururiyyah, Quthbiyyah, dan yang lainnya, yang induknya adalah Ikhwanul Muslimin.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya:
“Ini adalah pelajaran adab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya tentang sikap dan perbuatan mereka yang tidak pantas. Seharusnya, apabila datang kepada mereka berita penting yang terkait dengan kepentingan umat, seperti berita keamanan dan hal-hal yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau berita yang mengkhawatirkan/ menakutkan, yang di dalamnya ada musibah yang menimpa sebagian mereka, hendaknya mereka memperjelas terlebih dahulu akan kebenarannya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (semasa beliau masih hidup) dan kepada ulil amri, yaitu orang yang ahli berpendapat, ahli nasihat, yang berakal (para ulama). Mereka adalah orang-orang yang paham terhadap berbagai permasalahan dan memahami sisi-sisi kebaikannya bagi umat, sekaligus mengetahui hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka.
Apabila mereka melihat sisi kebaikan, motivasi yang baik bagi orang-orang yang beriman dan menggembirakan mereka bila berita tersebut disebarkan, atau akan menumbuhkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, tentu mereka akan menyebarkannya (atau memerintahkan untuk menyebarkan).
Apabila mereka melihat (disebarkannya berita tersebut) tidak mengandung kebaikan, atau dampak negatifnya lebih besar, maka mereka tidak akan menyebarkannya.”
Karena demikian agung dan mulianya kedudukan ahlul ilmi –yaitu para ulama– menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, sudah semestinya umat menghormati dan memuliakan mereka. Juga kembali kepada mereka dalam menghadapi berbagai problematika, mempelajari agama ini dengan bimbingan mereka, khususnya di masa yang penuh dengan fitnah ini. Tidak ada jalan yang selamat kecuali kita merujuk kepada ahlul ilmi.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam At-Tanbihul Hasan (hal. 33): “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menghadang dakwah ke arah bid’ah dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Mereka adalah orang-orang yang selalu menyampaikan kebenaran yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang mana generasi salafush shalih berjalan di atasnya. Adapun orang yang tidak mau merujuk kepada mereka, maka:
1. Mungkin dia adalah orang yang mengatakan bahwa semuanya itu baik. Maksudnya, Ahlus Sunnah, ahlul bid’ah, hizbiyyun (orang yang fanatik terhadap golongannya) adalah sama. Sehingga, hakikatnya dia menyamakan antara yang haq dengan yang batil.
2. Atau mungkin dia adalah orang yang berusaha menggiring umat kepada salah satu kelompok bid’ah atau hizbiyyah. Sekaligus berusaha memerangi dakwah yang haq. Dia berjalan dalam perkara tersebut sebagaimana yang diinginkan oleh induknya.2
Adapun orang yang kembali kepada ahlul ilmi, para ulama ahlul hadits, maka dia akan selamat dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, insya Allah.
Wallahu a’lam.
1 Yakni mati hatinya, disebabkan terjatuh dalam kesyirikan, bid’ah, dan kemaksiatan. -pen
2 Seperti Sururiyyah, Quthbiyyah, dan yang lainnya, yang induknya adalah Ikhwanul Muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar